Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Kamis, 09 Juli 2009

Gizi untuk Semua Anak


Norman adalah sebagian dari anak-anak yang hampir kehilangan hak hidupnya karena terbatasnya kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan, terutama gizi yang memadai. Berita Antara, Kamis, 4 Juni 2009, mengabarkan hal ini sebagai pasien penderita gizi buruk yang dirawat di RSUD Pangkalpinang sejak Rabu.



Keterbatasan kondisi ekonomi keluarga memaksa Norman, warga Desa Kace Kota Pangkalpinang terus menahan lapar hingga mesti dirawat di rumah sakit. Dalam usianya yang baru 10 tahun dengan berat badan yang hanya tinggal 10 kg berbanding jauh dengan anak-anak normal seusianya. Berat badan yang terus turun karena menahan lapar dan mengakibatkan perut sakit, diare serta kehilangan nafsu makan merupakan salah satu tanda yang ia alami dalam sebulan terakhir . Bapak Norman, Sumarli hanyalah seorang buruh harian yang bekerja sebagai penimbang timah sedangkan ibunya, Nuryani dan anak-anaknya tergantung sepenuhnya pada penghasilan suami, bapak anak-anaknya. Belum lagi, penghasilan suami yang tidak menentu, membuat seluruh anggota keluarga mesti mengisi hidup dalam keterbatasan.

Kondisi ekonomi keluarga yang terbatas membuat anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak-haknya, terutama hak untuk memperoleh kesejahteraan. Masih banyak anak yang pada akhirnya mesti berjuang untuk mendapatkan hak hidupnya. Tidak hanya balita, anak usia di atas balita pun bisa mengalami hal yang diderita Norman.


Masalah Gizi Buruk
Bagaimana mengetahui seorang anak menderita gizi buruk, tidak hanya ditentukan dari berat badannya tapi juga secara keseluruhan, cirri-ciri fisik yang mendukung hal tersebut. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan, disebutkan gejala Kurang Energi dan Protein (KEP) dapat dilihat dari kondisi mata yang kabur, anak menjadi rewel, gelisah, luka atau retak pada sudut mulut, nafsu makan menurun, diare, gangguan kulit, pucat (karena anemia), dan rambut mudah patah.

Jangan kira Jakarta dengan segala kelimpahan dihiasi megahnya gedung-gedung bertingkat bebas dari penderita gizi buruk. Tengoklah anak-anak di pemukiman kumuh yang tidak hanya mengalami keterbatasan pangan tapi juga akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Keadaan ini banyak dijumpai di wilayah pinggiran kota Jakarta, terutama pada masyarakat urban yang hidup dan menetap, mendapatkan nafkah dari yang tersisa dalam semaraknya kota.

Wilayah Cakung, pinggir utara kota Jakarta menjadi salah satu lokasi yang rawan gizi buruk. Tepatnya di Cakung Timur, Kayu Tinggi, di sepanjang belakang pemukiman padat Jakarta, menetap masyarakat urban yang mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan tidur di belakang pabrik sepanjang jalan raya Cakung Cilincing (Cacing). Masyarakat tanpa KTP DKI dan sebagian besar tak diakui pimpinan RT setempat ini hidup dari bercocok tanaman cepat panen dan mengais serta mengumpulkan sampah rumah tangga dengan memulung.



Minimnya Pemahaman tentang gizi
Kesibukan berlomba dengan waktu demi mengisi perut pada akhirnya menelantarkan kesejahteraan anak, bahkan anak-anak pun sering kali turut turun ke kebun sebagai buruh untuk mendapatkan sekedar uang untuk kebutuhan jajan. Keterbengkalaian inilah menyebabkan orang tua tidak hanya mencari nafkah sekedar untuk makan tapi juga karena minimnya pengetahuan yang diperoleh, mereka tidak memahami pentingnya gizi dan gunanya asupan bagi perkembangan tubuh dan otak anak-anaknya sebagai generasi penerus.

Anak-anak di atas usia balita yang belum memahami hal ini hanya berpikir, hasil kerja yang kami dapat bisa kami gunakan untuk mengisi perut yang lapar, cepat, mudah, sesuai selera dengan jajan. Demikian pula dengan orang tua yang karena kurangnya ketersediaan waktu, seringkali hanya menyediakan lauk yang dibeli dari warung terdekat, yang belum tentu terjamin gizi dan kebersihannya.

Sebagian ibu-ibu yang menetap disini, bahkan menjadi tulang punggung keluarga karena para suami yang hanya mengais nafkah dengan memulung. Hasil yang belum tentu ada setiap hari, memaksa ibu untuk ambil alih tanggung jawab, bekerja sebagai buruh cabut tanaman panen, penjual sayur, pekerja lepas cuci pakaian dan mengasuh anak. Anak-anak mereka yang belum cukup lepas ASI terpaksa harus minum susu botol bahkan hanya air putih. Akses pemahaman tentang gizi yang mestinya bisa diperoleh lewat posyandu, seringkali tidak bisa diperoleh karena dianggap warga illegal oleh RT setempat, di sisi lain, beberapa dari mereka merasa tidak perlu peduli, padahal jurang perbedaan antara warga pemukiman sekitar dengan warga yang bermukim di atas lahan tidur makin besar.


Nasib Generasi Penerus Bangsa
Keterbengkalaian dan ketidakpedulian terhadap masalah gizi menjadikan anak tidak dapat tumbuh dengan sempurna. Kekurangan gizi menjadikan anak lamban merespons, mudah bingung, mengantuk, tidak bisa konsentrasi lama dan dengan demikian tidak seaktif anak-anak yang tumbuh sehat dan normal.
Menurut pakar gizi dan dirjen dikti Depdiknas, Prof.dr.Fasli Jalal PhD, kekurangan gizi pada masa kehamilan ibu dan anak usia dini dapat menyebabkan keterlambatan dalam pertumbuhan fisik dan perkembangan motorik, juga akan mengganggu perkembangan kognitif yang menyebabkan berkurangnya IQ (intelligence quotient) hingga 15 poin. Kebutuhan gizi dibagi atas zat gizi makro, seperti energi, protein, dan lemak serta zat gizi mikro, seperti vitamin dan mineral. Kekurangan iodium sebagai mineral dalam zat gizi mikro menyebabkan gangguan otak yang dapat menimbulkan turunnya kemampuan intelektual, lambatnya psikomotorik dan menyebabkan keterbelakangan mental.
Kurangnya asupan makanan akibat ketidakcukupan nafkah yang diperoleh orang tua serta perhatian akan tumbuh kembang anak menciptakan pertambahan jumlah anak-anak kurang gizi, baik usia batita, balita, maupun remaja. Minimnya pengetahuan dan pemahaman orang tua akan pentingnya gizi, bagaimana jadinya dengan anak yang sudah menjadi terbiasa dengan pola makan yang demikian terbatas.


Beberapa Alternatif Solusi
Penting bagi kita memiliki pemahaman dan pengetahuan memadai masalah gizi, terutama bagi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Apa jadinya bila anak-anak usia batita, balita, bahkan remaja tumbuh menjadi anak-anak kurang gizi, sementara jurang perbedaan mereka yang mampu dan yang kurang secara ekonomi sosial menjadi makin terkucilkan.

Solidaritas dalam masyarakat, terutama lingkungan terdekat perlu dibangun lewat kegiatan-kegiatan sosial maupun posyandu yang melibatkan masyarakat dari yang tanpa pengakuan eksistensi mendapatkan tempat dalam kesetaraan. Keadaan kurang gizi atau gizi buruk tidak hanya diidap oleh anak-anak usia dini, anak-anak usia remaja pun perlu mendapatkan penanganan.

Seringkali kegiatan peningkatan gizi dan kesehatan lingkungan hanya mengikutsertakan orang tua dan anak usia dini, padahal demi peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang pentingnya gizi untuk kebutuhan tumbuh kembang, perlu dipahami juga oleh anak-anak remaja.
Kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyangkut masalah penyuluhan dan penanganan kesehatan dan gizi hendaknya melibatkan keikutsertaan remaja di dalamnya.

Hal ini terutama bagi pembentukan pola dan kebiasaan makan anak baik pada tingkat orang tua bagi anak-anaknya maupun remaja. Mengurangi kebiasaan jajan dan pengenalan akan nilai gizi makanan dapat menyadarkan anak remaja tentang pentingnya pemenuhan kebutuhan pokok demi kesehatan dan kelangsungan hidup. Syukur bila manfaatnya bisa dikembangkan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan ekonomi warga yang dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar.


Jakarta, 23 Juni 2009
Debby Maitimu
Kadiv.Pendataan JRK
Anggota Tim Prog.Kerja Advokasi Anak Pinggiran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar