Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Kamis, 01 Oktober 2009

MUNIR Antara Perjuangan HAM dan Kaos Oblong

Doc.KASUM

“Mereka menenteng senjata, mereka menembak rakyat, tapi kemudian bersembunyi di balik keteng kekuasaan....
Apakah akan kita biarkan orang-orang itu tetap gagah..??
Mereka harus bertanggung jawab, sampai detik manapun..!!”

Itu adalah sekelumit dari orasi Munir Said Thalib, sebelum beberapa minggu dia meninggal.
Hingga tahun ke lima kematiannya, sampai saat ini masih menyisakan misteri.

Kenapa, mengapa, alasan apa, seorang Munir kemudian mati secara mendadak, dan kemudian diketahui bahwa kematianya disebabkan oleh racun Arsenic dalam kadar tinggi.
Yang kemudian diketahui belakangan, bahwa kematian Munir sengaja atau direncanakan oleh berbagai pihak yang tidak senang atas aktivitasnya.

Untuk masalah kemudian Munir dibunuh karena aktivitasnya sebagain banyak mungkin sudah mengetahuinya, hanya ada hal yang menarik dari fenomena icon semisal Munir ini. Ketika beberapa minggu lalu saya melihat gambar wajah Munir terpampang dalam sablonan kaos di sebuah FO yang cukup besar di Bandung, lengkap dengan alat patung peraga yang didandani ala model.

Saya jadi teringat dengan icon Ernesto Che Guevara tokoh Revolusioner legendaris abad XX. Dia jadi icon revolusi yang potretnya melekat di kaos oblong, poster, pin, dan aksesori lainnya. Kalimat "Hasta la victoria siempre!" yang ditulisnya kepada Castro saat meninggalkan Kuba telah menjadi salam heroik anak-anak muda.
Ada pengalaman lucu, ketika suatu saat saya menghadiri pagelaran musik Underground di Bandung, ketika salah satu kelompok musik tampil dan beberapa personelnya memakai kaos bergambar Che Guevara, teman saya bertanya ”Che Guevara itu, vokalis band apa ya..?”

Begitupun dengan gambar Munir, ada yang pernah bertanya ”itu fotonya Ucok ya..??” (Ucok adalah Vokalis Band HipHop Underground ”Homicide” yang melegenda dan Cukup kontroversial di Bandung)
Karena Band ini pernah membuat aksesoris yang bergambar Munir, juga beberapa karyanya yang memang diperuntukkan untuk almarhum Munir.

Ada kecenderungan sepertinya ketika Ikon-ikon dipakai dan otomatis si pemakai merasa dirinya menyatu dengan Ikon yang dipakainya.
Tanpa Sadar si pemakai telah masuk ”perangkap” tak-tik marketing dari si produsen, yang mungkin berlawanan dengan esensi dari Ikon yang dipakainya.
Bukan berarti di sini saya mau mengatakan, jangan memakai ikon-ikon semisal Che Guevara ataupun Munir.

Hanya sungguh sayang ketika memakai Ikon tadi kita lupa esensi dari orientasi perjuangannya itu sendiri.
Kalau kita berbicara tentang seorang Munir, juga tidak bisa dilepaskan berbicara tentang apa yang pernah ia perjuangkan semasa hidupnya, perjungan tentang penegakan Hak Asasi Manusia.

Sampai saat dia meninggal, ada beberapa kasus yang masih menjadi PR bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Negeri ini.
Kaitannya dengan bagaimana Munir mencoba membongkar pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus 65, Tanjung Priok, Talangsari, Penembakan Misterius, dll.
Atas keberanian dia bersikap membongkar kasus-kasus itu ditengah masih kuatnya Militeisme di negeri ini tidak ayal banyak teror-teror yang dia terima.
Dari pengklaiman seorang Yahudi, atau seorang Komunis sekalipun.

Kembali tadi tentang masalah Hak Asasi Manusia, Tentu kalau kita juga berbicara masalah Hak Asasi Manusia, adalah masalah Universal, yaitu hak-hak kodrati setiap manusia.
Seperti hak untuk hidup layak, hak untuk tidak mendapatkan penyiksaan, hak untuk tidak terdiskriminasi, dll.

Terlau panjang mungkin ketika harus memaparkan tentang sejarah Hak Asasi Manusia itu sendiri, tapi setidaknya deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.

Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing.

Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi ”pengayom” untuk rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Mungkin itu pandangan yang terlalu umum ”Eropa/Amerika” sentris.

Bagaiamana kita juga bisa melihat bahwa pada dasarnya Hak Asasi Manusia juga menjadi pedoman dari setiap agama yang ada.
Kita mengenal konsep Islam dengan Rahmatallilalamin(rahmat untuk semua alam), atau konsep Katolik dengan kasih sayangnya, ada lagi Budha dengan Welas asihnya, dll
Apa yang dilakukan Munir saat itu juga tidak jauh dari apa yang diuraikan diatas, dia mencoba membongkar kejahatan militeristik di Negeri ini yang selalu berlindung di balik tameng kekuasaan.

Pertanyaanya kemudian adalah, apakah menjadi semacam pembenaran ketika membunuh, menyiksa, menculik sah dilakukan kalau atas nama Negara?
Bukankah pemaksaan Ideologi Tunggal juga bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia?
Bukankah munculnya kiri dan kanan pasti akan selalu terjadi dalam ranah politik di Negeri ini?

Bukankah Hak Asasi Manusia bukan milik dominasi gerakan kiri ataupun kanan?
Bukankah pelanggaran Hak Asasi manusia juga dilakukan oleh gerakan kiri dan kanan di negeri ini?

Bukankah sejarah negeri ini sampai sekarang, adalah sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia, siapapun rezimnya?
Dan, siapa yang bisa membantah itu...????

Bukankah, perjuangan Hak Asasi Manusia tidak akan berhenti, hanya karena Munir mati..???

Alih-alih perjuangan HAM seperti sudah dilakukan, ketika memakai icon Munir di kaos oblong ataupun mengutip pernyataan Munir, takut-takut hanya akan berhenti pada simbolisasi, lebih parah menjadi mitos.
Kalau itu yang terjadi, kita kalah untuk kesekian kali.

Salam....


Husni K Efendi
(Humas Internal JRK)

Read More......

Analisis SWOT Untuk Berbagai Perlakuan Terhadap ”Squatter Settlement” (Wilayah Perkampungan Kumuh) Bagian II

Doc.JRK

Perbaikan infrastruktur lingkungan tanpa melegalkan status tanah (regularization without tenure)

Landasan Tindakannya:

a. Kepemilikan legal atas status tanah tidak dianggap penting.

b. Tindakan ini lebih bertujuan untuk memecahkan masalah “kekumuhan”, demi menciptakan perkampungan-perkampungan di kota-kota besar yang lebih bersih, berkualitas baik, teratur dan rapi.


c. Diandaikan bahwa dengan perbaikan infrastruktur, warga perkampungan “kumuh” akan terinspirasi secara perlahan-lahan untuk memperbaiki rumah dan kondisi kehidupan mereka, termasuk pada akhirnya memelihara infrastruktur yang dibangun tersebut.

d. Perbaikan infrastruktur lebih ekonomis atau lebih hemat biaya dibandingkan dengan upaya untuk memindahkan warga ke tempat lain (relokasi).

e. Untuk mencegah timbulnya reaksi-reaksi kekerasan dan konflik sosial yang ditimbulkan oleh penggusuran.

Kekuatan:
Tindakan ini biasanya didukung oleh pendanaan yang kuat, biasanya dari dana bantuan internasional, seperti program KIP (Kampong Improvement Program ) di Jakarta pada tahun 1969 yang didanai oleh Bank Dunia.

Kelemahan:


a. Keberhasilan pelaksanaannya sangat ditentukan oleh manajemen operasional yang baik dari pihak pemerintah sebagai pelaksanan pembangunan.

b. Jika tidak diikuti oleh upaya untuk mensahkan kepemilikan tanah yang ditempati warga, perkampungan tersebut tetap terancam digusur di kemudian hari, terutama jika pemerintah selanjutnya tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan ini.

Peluang:

a. Perbaikan situasi perkampungan kumuh lebih cepat dirasakan dibandingkan dengan upaya melegalkan kepemilikan atas tanah yang prosesnya bisa berbelit-belit.

b. Menurut perhitungannya, pembangunan infrastruktur lebih ekonomis daripada relokasi.

c. Pembangunan infrastruktur akan menciptakan lapangan kerja.

Ancaman:
a. Kebanyakan perkampungan kumuh menempati wilayah-wilayah yang rentan bencana, misalnya: di pinggir sungai, di tepi pantai, sehingga menyulitkan atau memerlukan biaya yang besar untuk membangun atau memperbaiki infrastrukturnya.

b. Birokasi dan dan mental korupsi menghasilkan infrastruktur yang berkualitas buruk sehinggal dalam jangka panjang infrastruktur yang dibangun cepat rusak atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

c. Pembangunan infrastruktur yang tidak menyertakan partisipasi warga akan menghasilkan rasa memiliki yang rendah dari warga, dan pada akhirnya akan berujung pada kelalaian dalam memelihara dan menjaga infrastruktur tersebut.

Kritik atas solusi ini, akan membawa kita jalan keluar yang dianggap lebih baik dan harus diandaikan terlebih dahulu sebelum memperbaiki instrastruktur, yaitu “pemberian status legal atas tanah yang dimiliki” (tenure legislation).

(Bersambung)

Tim Advokasi Korban Penggusuran JRK
Read More......

Senin, 24 Agustus 2009

Analisis SWOT Untuk Berbagai Perlakuan Terhadap SQUATTER SETTLEMENT (Wilayah Perkampungan Kumuh)

Doc.JRK

Penggusuran adalah salah satu cara cepat dan taktis yang digunakan oleh negara dalam menangani masalah-masalah yang terkait dengan perkampungan kumuh. Dalam banyak kasus pemerintah Indonesia melalui pejabat-pejabat lokalnya telah melakukan banyak penggusuran secara sewenang-wenang dan terbukti lebih banyak berpihak pada kepentingan pemodal daripada kepentingan warga perkampungan kumuh sebagai kelompok terlemah dalam struktur masyarakat kota. Dengan menyarikan dari berbagai sumber, tulisan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa jika kita menentang penggusuran, maka kita juga harus memiliki alternatif-alternatif lain untuk memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh perkampungan kumuh dengan segala kompleksitasnya. Untuk itu, maka ada baiknya jika kita belajar dari kasus-kasus serupa di tempat lain, baik itu di luar Jakarta atau di negara berkembang lainnya. Setiap alternatif memiliki kelemahan dan kekuatan serta mengandaikan situasi, kondisi dan pandangan-pandangan tertentu. Memahami ini semua akan menjernihkan pandangan kita untuk dapat menyelami masalah yang terkait dengan perkampungan kumuh sebelum sampai pada keputusan alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah perkampungan kumuh di tempat-tempat tertentu.

Berikut ini adalah macam-macam cara yang telah digunakan untuk menangani masalah perkampungan kumuh atau squatter settlement:
1.Penggusuran (Eviction)
Landasan Tindakannya:

a.Warga perkampungan kumuh tersebut tinggal di wilayah atau tanah pemerintah yang diperuntukkan untuk jalur hijau, oleh karena itu warga yang tinggal di perkampungan kumuh dianggap telah melanggar peraturan atau ketertiban umum, untuk itu harus ditertibkan. Jika warga dianggap melawan atau menentang, tidak mau pindah secara baik-baik, maka pemerintah mengambil tindakan penggusuran.
b.Warga perkampungan kumuh tersebut dianggap mengotori atau mencemari kota; mereka dianggap memperburuk citra kota dan diberi cap sampah masyarakat. Agar kota tetap indah dan teratur, perkampungan kumuh harus dihilangkan, dengan cara baik-baik maupun kekerasan.
c.Warga perkampungan kumuh tersebut tinggal di tanah milik swasta, setelah beberapa saat pemilik tanah ingin menggunakan tanahnya untuk kepentingan tertentu dan untuk itu warga diminta pergi. Karena tajamnya perbedaan kepentingan di antara pemilik tanah dan warga perkampungan kumuh, seringkali tidak terjadi titik temu di antara mereka. Biasanya kemudian pemilik tanah meminta penguasa setempat untuk membantunya ‘mengusir’ warga dan menghancurkan perkampungan tersebut.
Kekuatan:
Biasanya tindakan penggusuran didukung oleh undang-undang atau hukum yang berlaku seperti Perda No. 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 51tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya.

Kelemahan:

a.Undang-undang yang mendukung penggusuran itu melanggar hakikat keberadaannya sebagai alat atau sarana untuk menjamin kepentingan atau kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat atau kelompok yang lemah kedudukannya berdasarkan pada nilai-nilai pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Undang-undang dibuat untuk bisa sedapat mungkin mengakomodasi kepentingan masyarakat secara umum, terutama kelompok masyarakat yang lemah dan tak berdaya. Jika suatu undang-undang tidak bisa mengakomodir kepentingan warga perkampungan kumuh yang adalah anggota masyarakat paling lemah dalam struktur masyarakat kota, maka keabsahan undang-undang yang dijadikan landasan penggusuran itu bisa dipertanyakan.
b.Tanah pada dasarnya bukan komoditas.
Negara adalah lembaga yang dipercaya untuk mengatur penggunaan tanah itu demi kesejahteraan masyarakat, agar tanah itu tidak dimiliki secara sewenang-wenang oleh pribadi-pribadi tertentu saja. Salah satu penerapan penting dari hal ini adalah kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya. Dari segi ini, jika ada banyak kepentingan dalam penggunaan suatu wilayah, maka negara harus memprioritaskan penggunaan tanah yang melayani kepentingan masyarakat secara luas. Berdasarkan pertimbangan ini, tindakan penggusuran oleh negara yang tidak disertai kebijakan untuk mengatur atau menciptakan lahan tempat tinggal yang layak bagi warga ekonomi menunjukkan kelalaian negara dalam menjalankan tugasnya.

Peluang:

a.Warga perkampungan kumuh sendiri biasanya lalai dalam menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungannya karena biasanya mereka menempati rumah sewaan, bukan milik sendiri.
b.Warga perkampungan kumuh biasanya tidak hanya miskin sumber daya ekonomi tapi juga lemah dalam pengorganisasian warganya, sehingga upaya penggusuran yang didukung oleh kekuasaan atau otoritas pemerintah selalu saja sukses karena tidak mendapatkan pembelaan diri yang terorganisir dengan baik dan kuat dari warga.
c.Pandangan yang menganggap warga perkampungan kumuh sebagai sampah masyarakat.
d.Tidak adanya kebijakan yang integratif terhadap penggunaan tanah, baik itu yang dimiliki oleh negara maupun oleh swasta sehingga penyelesaian terhadap masalah perkampungan kumuh seringkali menemui jalan buntuk.
e.Nilai-nilai kapitalisme yang menjunjung tinggi nilai ekonomis suatu barang, dalam hal ini tanah, tanpa memperhitungkan aspek sejarah, sosial dan budayanya. Seringkali lahan bekas gusuran itu digunakan untuk kepentingan komersial.

Ancaman:

a.Hak asasi manusia (HAM).
Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 11 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas tempat tinggal yang layak dan negara menjamin hal ini. Atas dasar nilai universal ini, bukan hanya tindakan penggusuran yang dianggap melanggar HAM, tapi kelalaian atau ketidakpedulian atau tidak adanya niat baik pemerintah atau negara dalam mengurus sebagian warganya yang paling lemah ekonominya dalam mengakses kepemilikan tempat tinggal sudah bisa dianggap melanggar HAM.
b.Kepedulian sebagian masyarakat yang semakin tinggi terhadap nasib warga miskin kota, sehingga saat ini tidak ada aktivitas penggusuran yang luput dari kecaman.
c.Keberhasilan penanganan perkampungan kumuh di negara-negara berkembang lainnya.
Banyaknya contoh kasus penanganan perkampungan kumuh di negara-negara berkembang lainnya yang menunjukkan bahwa penggusuran bukan satu-satunya solusi bagi masalah perkampungan kumuh, masih banyak solusi lainnya dimana masalah perkampungan kumuh dan masyarkat miskin kota dapat ditangani dengan lebih manusiawi, rasional, dan menjunjung tinggi kepentingan umum, tanpa harus mengorbankan kepentingan pihak-pihak terkait.
Pada dasarnya penggusuran dikecam karena disatu sisi dianggap tidak manusiawi dan di sisi lain penggusuran dianggap tidak memecahkan masalah perkampungan kumuh karena warga yang diusir dari suatu wilayah tersebut tidak pergi dari kota besar tersebut tapi pindah mencari lahan lain untuk ditempati.

(Bersambung)
Tim Advokasi Korban Penggusuran JRK


Read More......

Rabu, 29 Juli 2009

DIGERUDUK MASSA; Workshop Guru Sejarah Dihentikan

18/07/2009 09:52:54 YOGYA (KR)
Acara workshop guru-guru sejarah yang tergabung dalam Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) yang diselenggarakan di sebuah hotel di kawasan Prawirotaman, Mergangsan, Yogyakarta, Jumat (17/7) sore dihentikan petugas Poltabes Yogyakarta. Dihentikannya acara itu karena tidak adanya surat pemberitahuan atau perizinan. Selain itu, di tengah-tengah berlangsungnya workshop, sempat terjadi respons dari salah satu organisasi massa. Mereka menuntut workshop 'dibubarkan' karena dianggap bisa mempengaruhi stabilitas keamanan dan ketertiban.

Kapoltabes Yogyakarta Kombes Pol Drs Agus Sukamso MSi ketika dikonfirmasi mengenai hal itu menjelaskan pihaknya mengambil kebijakan menghentikan workshop demi menegakkan aturan dan menjaga kamtibmas. Pihak penyelenggara workshop sama sekali tidak mengirim pemberitahuan, baik ke Polsektabes Mergangsan maupun ke Poltabes Yogyakarta. Padahal, peserta workshop berasal dari beberapa kota.
Sebelum polisi menghentikan workshop sempat terjadi ketegangan antara panitia dengan sekelompok massa. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, polisi segera mengambil tindakan pengamanan. Negosiasi dengan panitia dilakukan, bertujuan agar workshop dihentikan. Selanjutnya salah satu panitia workshop, Sumarsih dibawa ke Poltabes Yogyakarta untuk dimintai keterangan perihal acara yang diselenggarakannya.
Hingga Jumat (17/7) malam beberapa peserta workshop masih berada di hotel. Namun demikian mereka tidak bersedia memberikan keterangan terkait dengan dihentikannya acara itu. Mereka sudah menyerahkan permasalahan itu kepada panitia. "Polisi hanya sebatas memintai keterangan dari panitia dan mendata nama dan jumlah peserta," jelas Agus Sukamso.
Direktur LBH Yogya, M Irsyad Thamrin, menyesalkan pembubaran workshop tersebut. "Seharusnya aparat kepolisian melindungi mereka yang mengikuti workshop. Itu forum ilmiah untuk mengkaji sejarah. Aparat seharusnya melindungi kebebasan berpikir dan berpendapat," ujar Irsyad usai mendampingi panitia workshop. Workshop itu sendiri diselenggarakan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). (Hrd/Don)-b
Read More......

Senin, 13 Juli 2009

About the heroes of remittances and their agency Divsion of Advocation of Migrant Workers’ visit to Tulung Agung, East Java

Photo by Flickr.com


Migrant Workers, domestic work and global markets

Leaving Jakarta to Tulung Agung in East Java, where JRK’s Division of Advocation of Migrant Workers is going to implement a program on education and self-organization of migrant workers, I had many buzz words in my mind that try to describe the social reality Indonesian Migrant Workers have to face and which role they play within global markets and national politics; that they are part of ‘global reproduction chains’ and play a role as ‘heroes of remittances’. Coming from a country where more and more households receive (illegalized) migrant workers I now had the chance to learn about 'the other side of the coin', visiting one of the regions in East Java, from which the third biggest number of workers – most of them female - leave the country to work abroad in households, restaurants, in fabrics, markets and on plantations. A great part of the migrant workers leaving East Java works as domestic workers.

In Germany, the country I come from, many middle class families' lifestyle is now made possible by women from other countries who now do part of 'care work' – domestic work, the bringing up of children and caring for the elderly of our society. (Middle class) German men as well as women are freed from this work in order to fully enter the labour market and get an employment of what many of them define as 'real' work. This new lifestyle of middle class families is on one hand due to the struggle of many feminists for emancipation in society whose role used to be clearly defined as housewifes. On the other hand this lifestyle expresses the re-organisation of neoliberal societies in which state subsidies in the social sector are decreasing and in which care work is increasingly organized along a market scheme. Supposing that in the countries which receive Indonesian workers this context of demand of 'care workers' is similar, I got interested in learning why Indonesian Migrant Workers leave their countries to find work, what they experience while being abroad, what their families expect and which ways they find to struggle against the manifold forms of exploitation they have to face. My knowledge about the institutionalised structure of exploitation that Indonesian Migrant Workers experience - 1) before they leave to work in Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea, Japan and the Middle East, 2) while they are working abroad and 3)when they come back to Indonesia - is feeded by stories that reach the media, mailing lists and NGOs in Jakarta. Experiencing everyday life in Indonesia gives these stories another face. The wish to live and work in countries that are considered as prosperous or rich seems to be quite present. Often I am asked: ‘Can I join you to your country and become your maid?’ or ‘What do I have to do to work abroad?’ The visit to Tulung Agung and the chance to talk to former migrant workers and peasants broadened my view in a special way, that is in terms of Indonesian migrant workers’ agency. This is in fact striking because most of the news about migrant workes published in the media shows victims of violence. Moreover, the perception of migrant workers as mainly victims and not political subjects or activists is also reflected within the movement that advocates migrant workers’ rights. In the political architecture – in the nower days called ‘global governance’ - in fact NGOs are set in place to represent migrant workers’ interests. Is this even part of a system of controlling global migration flows not to have migrant workers being agents of their interests?


Gender roles and agency

In Tulung Agung we had the chance to meet Siti who is the coordinator of a group of former migrant workers. Siti already left three times to work in Taiwanese households. The experiences she gained abroad were mixed ones. In the eyes of her family and neighbours in her home village her first experiences make her a ‘successful’ migrant worker. During her first stay of three years in Taiwan she would eventually send money back home after the Indonesian private agent - a so called ‘migrant worker supplier’ - that claims to take care of papers, places employers and provide trainings, cut six months of Siti’s salary. Another time she felt insecure living alone with her male employer and chose to leave. During her last stay her employer died - according to her contract she couldn’t be with another employer and had to go back. These experiences would make Siti’s stay abroad be seen as a ‘failure’ because she would not be able to fulfil her family’s expectations of sending home money in order to to be able to live a descent life – by building up a house, buying a motorcycle and so on.
Talking about migrant workers’ problems we usually consider the countries they are going to, the agencies that are sending them and the bureaucratic apparatus they have to deal with. But there’s one more dimension. As Siti tells us many of the problems she and her friends deal with are rooted at home. While being abroad their husbands marry another wife, and this can mean social exclusion, personal sorrow and the suffering of children. In fact, as we are told, the divorce rate in Tulung Agung is tremendously high with 500 couples divorcing in a month.

Why do so many people in Tulung Agung over and over decide to leave to work abroad? In recent years, more than 4.000 people have been documented to leave the district counting around one million inhabitants to work abroad. “Life here is difficult whereas abroad we get a full salary. The first thing they spent their salary on is building a house”. As she reports, many Migrant Workers stay dependent on the migration process since life abroad offers something which in Tulung Agung is rare or - as in of the big cities - precarious: a work place.
Siti and her friends who all have worked abroad gathered and built up a small scale production business. They share their experiences with other young women who are trained in language and ‘domestic work’ by the agencies they have chosen to broker a job for them while waiting for the day they will take an airplane and begin their temporary life abroad. They exchange experiences about restricted life abroad with limited time and space to meet and talk to other migrant workers. Abroad, the moment to bring the garbage away could be one of these valuable moments to share common feelings and experiences with other Indonesian domestic workers who work in the neighbours’ house.

We‘re learning that men and women in Tulung Agung know the gender roles that are formed within society quite well: Who sits in the cafés drinking coffee and smoking clove cigarettes and who does not, who washes the laundry and who doesn’t. The societies in the demanding countries profit of these well known gender roles including the performance of gender based labour division. As Siti affirms, domestic work is not work, and while not being seen as work it also doesn’t have to be paid equal as ‘real work’ although domestic work just might be as hard. We’re also learning that gender roles can be newly defined. It’s Siti and her friends who reject these fixed roles while establishing new rules of the labour division at home or being present in the public demanding for the inclusion of migrant workers needs in the local budget planning. There has not been one program financed that supports Migrant Workers’ needs in Tulung Agung although the district profits of the remittances that are sent which are one of the main sources of devices excelling most of Tulung Agung’s export products’ value.

Alternatives
Tulung Agung is a town in the countryside and most of the migrant workers’ families are peasants. They have to deal with the dependency on the market and many of them live in poverty. We learn that not all of them are that much dependant as we have the chance to visit Winong, a village in the mountains working on dry land. We get to know the members of ‘Sumber Rezeki’, a group of peasants who have built up a cooperative which carries out research on their consumption needs. Furthermore the cooperative produces for their daily needs collectively, therewith subtending an alternative to the consumerism which in Tulung Agung is as present as in other Eastern Javanese villages. At first glance this initiative might not have a direct relation with the urgent problems Indonesian migrant workers’ are facing and that the media reports about. But in fact this example of self-organization and independence should make us think about the structural reality that marks the everyday life of going-to be and ex-migrant workers and their families. Thus, the initiative of the peasants in Winong could be the start of an alternative making the decision of going to work abroad not so much dependent on the requirement to fulfil one’s family’s needs.

What exactly is the ‘new face’ of the migrant workers issue that I have got to known? It is their struggle, the fact that they are not only the victims as they are presented in the media discourse. That they define their roles anew and that they create alternatives. There is need of a broader space in which migrant workers can organize and articulate their demands and alternatives so their voices are heard.

Jakarta, Mai/Juni 2009

Samia Dinkelaker
Read More......

Mengenai pahlawan devisa dan kunjungan ke Tulung Agung

Photo by Flickr.com


Buruh Migran, pekerjaan domestik dan pasar global
Sebelum berangkat ke Tulung Agung di Jawa Timur di mana akan diwujudkan program pengorganisiran dan pendidikan Divisi Buruh Migran JRK, saya sudah belajar tentang realitas Buruh Migran Indonesia (BMI) dan peran mereka dalam pasar global dan kebijakan nasional. Saya mendapat informasi dari teori-teori jurusan kuliah saya, dari wacana koran dan LSM di Jakarta. Beberapa kata kunci yang saya ingat berhubungan dengan BMI adalah mereka sabagai bagian ‘rantai reproduksi global’ atau gambaran mereka sebagai ‘pahlawan devisa’. Saya berasal dari salah satu negara penerima Buruh Migran dan kebanyakan tak terdokumen. Setelah mengunjungi Tulung Agung di Jawa Timu saya sudah mendapat kesempatan untuk mempelajari sisi lain dari pasar global buruh migrant, yaitu daerah asal mereka yang bekerja ke luar negeri di sektor domestik, di sektor jasa, di pabrik dan perkebunan. Tulung Agung merupakan salah satu kantong pengirim buruh migrant yang jumnlahnya BMI paling signifikan. Tak kalah penting, sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.

Di negara saya, yaitu Jerman, banyak keluarga di golongan menengah bisa menganut gaya hidup berbeda karena pekerja perempuan dari luar negeri melakuakan pekerjaan rumah tangga mereka; membesarkan anak-anak dan menurus kaum tua. Dulu kegiatan itu dilakukan oleh rumah tangga. Namun, banyak perempuan kelas menengah serkarang menolak peran mereka sebagai rumah tangga dan menganggap kesempatan memasuki di lapangan kerja formal sebagai hasil perjuangan emansipasi mereka. Selain itu pemintaan pekerja domestik murah dari luar negeri mencerminkan sebuah proses reorganisasi masyarakat neoliberal di mana subsidi negara di sektor social dikurangi dan di mana pekerjaan domestik semakin diorganisasi sesuai dengan sususan pasar. Akibatnya, hari ini baik laki-laki maupun perempuan sudah bebas dari pekerjaan itu dan masuk pasar kerja; makusdnya mereka sudah melakukan pekerjaan yang dianggap sebagai ‘pekerjaan yang benar’ oleh masyarakat.
Dengan asumsi adanya latar belakang pemintaan pekerja domestik di negara-negara penerima BMI seperti konteks Jerman, saya tertarik belajar kenapa Buruh Migran memilih bekerja ke luar negeri. Apa yang mereka alami, apa yang diharapkan oleh keluarga mereka dan bagaimana mereka melawan menghadapi beragam bentuk eksploitasi yang dialami mereka. Baik pada saat mereka berangkat bekerja ke Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang dan ke Timur Tengah, pada saat mereka bekerja di sana dan maupun pada saat mereka pulang ke tanah air mereka. Saya tahu tentang susunan eksploitasi yang dihadapi mereka dari cerita media, dari milis dan dari LSM di Jakarta. Dengan mengalami kehidupan sehari-hari di Indonesia cerita-cerita itu mendapatkan “wajah” yang baru. Seringkali saya ditanyakan : “Bolehkah saya ikut ke negaramu dan menjadi pembantumu?” atau “Apa yang harus saya lakukan supaya bisa bekerja ke luar negeri?”. Kunjungan ke Tulung Agung dengan kawan Divisi Advokasi Buruh Migran JRK memperluas pandangan saya tentang kaum buruh migran dalam arti khusus; Dengan kata lain, saya belajar tentang prakarsa dan tentang perjuangan mereka. Sepertinya kemandirian buruh migran bertentanggan dengan cara nasib BMI digambarkan oleh media. Dalam berita kaum BMI biasanya muncul sebagai korban kekerasan belaka dan bukan sebagai subyek politis. Persepsi tentang buruh migran ini tidak hanya dicerminkan dalam wacana media; dalam gerakan advokasi buruh migran pun mereka sendiri juga jarang muncul sebagai aktivis.

Peran-peran jender dan bagaimana mereka bisa diubah
Di Tulung Agung kami sempat berkenalan dengan Siti. Siti memimpin satu kelompok mantan buruh migran. Tiga kali dia sudah berangkat bekerja ke Taiwan sebagai pekerja rumah tangga. Pengalamannya bermacam-macam. Di mata keluarga dan tetangganya di kampung halamannya beberapa pengalam Siti di Taiwan menjadikannya seorang buruh migran yang pantas dibanggakan oleh karena ‚keberhasilannya‘. Waktu pertama kali ke Taiwan dia berhasil mengirim uang kepada keluargannya setelah PJTKI mengklaim sudah mengurus surat-surat resmi, menempatkan tenaga kerja dan menyediakan pelatihan, memotong enam bulan gaji Siti. Kali lain akhir cerita tidak semenyenangkan pengalaman yang pertama. Waktu kedua kali ke Taiwan Siti tidak merasa aman tinggal dengan majikannya yang laki-laki dan memilih kabur tanpa mendapatkan gajinya. Kali lain lagi majikannya meninggal dan Siti terpaksa pulang tanpa menerima gaji karena berdasarkan kontrak kerja dia tidak bisa bekerja untuk majikan lain. Kedua pengalaman itu menjadikan Siti seorang ‚TKI yang kalah‘ karena dia tidak sanggup menemui harapan keluarganya yang menunggu kiriman uang untuk membangun rumah – biar kecil –, membeli motor dan kebutuhan sejenisnya.
Biasanya kalau kita membicarakan masalah buruh migran kita mempertimbangkan keadaan di negara tujuan, kasusu kekekerasan dan penyiksaan atau agensi yang mengirimkan mereka dan raksasa birokrasi yang harus mereka hadapi.
Jangan menyangka bahwa masalah BMI hanya di bidang itu semata, di kampung halaman pun masalah mereka dimulai. Siti membagi pengalaman dengan kami dan ternyata banyak masalah dia dan teman-temannya berakar di kampung sendiri. Sementara istri bekerja keras di luar negeri, suami menikah dengan istri baru. Hal itu bisa menyebabkan istri yang bekerja di luar negeri dipinggirkan oleh masyarakat, perasaan terluka dan penderitaan anak-anak. Kami belajar bahwa tingkat perceraian di Tulung Agung memang mencolok dengan 500 kasus perceraian per bulan.

Apa alasan keberangkatan begitu banyak orang ke luar negeri dan bahkan berulang-ulang walaupun resiko BMI bisa ‚kalah‘ atau resiko mengalami hal yang buruk cukup tinggi? Dalam tahun-tahun terakhir ini lebih dari 4.000 orang terdokumentasi meninggalkan kabupaten Tulung Agung yang berpenduduk satu juta orang. „Kehidupan di sini sangat sulit sedangkan di sana kami mendapatkan gaji penuh. Kebanyakan mantan buruh migran mengeluarkan gaji mereka untuk membangun rumah“ kata Siti. Dia bercerita banyak mantan buruh migran tidak berhenti tergantung pada rantai migrasi. Hidup di luar negeri menawarkan sesuatu yang jarang ada di Tulung Agung dan kalau ada, mungkin di kota besar sifatnya rentan pada eksploitasi: tempat kerja.
Siti dan kawan-kawan mantan buruh migran membangun usaha kecil. Mereka membagi pengalaman mereka dengan perempuan muda lain yang sedang dilatih dalam ketrampilan bahasa Inggris dan pekerjaan domestik oleh PJTKI sementara menunggu saat keberangkatan. PJTKI itu dipilih oleh calon buruh migran untuk mencarikan pekerjaan untuk mereka sementara. Siti dan kawan-kawannya bercerita tentang kehidupan di luar negeri dengan waktu dan ruangnya terbatas untuk berkumpul dengan buruh migran lain dan membagi pengalaman masing-masing. Saat mengurus sampah, misalkan, bisa menjadi kesempatan untuk bertemu dan menukar pengalaman dan pikiran.

Kemudian kami belajar bahwa baik laki-laki maupun perempuan di Tulung Agung sangat hafal peran ‚jender‘ yang dibentuk dalam masyarakat: Mereka sangat tahu siapa yang nongkrong di café sambil minum kopi Kediri dan merokok kretek dan siapa yang tinggal di rumah sambil mencuci baju. Justru peran jender yang begitu diketahui oleh kaum BMI, termasuk pembagian pekerjaan berdasarkan jender, dimanfaatkan negara penerima. Siti menguatkan pemahaman bahwa pekerjaan domestik sebenarnya bukanlah pekerjaan. Dan selama tidak dianggap sebagai pekerjaan, pekerjaan domestik tidak akan digaji secara setara dengan ‚pekerjaan yang benar-benar merupakan pekerjaan‘. Padahal pekerjaan domestik justru seberat pekerjaan yang lain. Kami belajar bahwa peran jender dapat juga diisi denga arti baru. Siti dan kawan-kawannya menolak peran ketat itu dengan membangkitkan kebiasaan pembagian pekerjaan rumah tangga yang baru atau dengan memasuki ruang publik dan menuntut dimasukannya kebutuhan buruh migran dalam Perencanaaan Anggaran di tingkat lokal. Sampai sekarang pemerintah lokal tidak mendanai satu program pun yang mendukung buruh migran Tulung Agung. Padahal BMI mengirimkan devisa yang merupakan salah satu sumber pemasukan daerah yang penting. Bahkan devisa yang dikirimkan oleh BMI melampaui nilai penghasilan kebanyakan ekspor dari Tulung Agung.


Alternatif menanghadapi realitas yang buruk
Kota Tulung Agung dikelilingi pedesaan dan kebanyakan keluarga buruh migran yang meninggalkan Tulung Agung adalah petani. Mereka sendiri menghadapi ketergantungan pada pasar, dan hidup dalam kemiskinan. Di desa Winong kami berkenalan dengan sekelompok petani yang mandiri. Kami berkenalan dengan anggota kelompok ‚Sumber Rezeki‘. Mereka membangun koperasi, menata kebutuhan konsumsi mereka sendiri dan menghasilkan jagung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian mereka menunjukkan salah satu jalan alternatif menghadapi budaya konsumtif yang sangat mencolok, entah di Tulung Agung entah di desa lain di Jawa Timur. Sepertinya, tidak ada hubungan langsung antara prakarsa kelompok ‚Sumber Rezeki‘ dan masalah-masalah BMI yang mendesak diselesaikan dan dilansirkan di media. Namun hubungan erat antara contoh pengorganisiran diri dan kemandirian kelompok tersebut dengan kehidupan sehari-hari mantan dan calon buruh migran membuat kita memperhatikan masalah-masalah struktural yang tak kalah penting dicarikan solusi. Maka prakarsa kelompok petani di Winong adalah awal jalan alternatif sehingga keputusan untuk bekerja ke luar negeri tidak begitu tergantung pada penemuhan kebutuhan keluarga diri sendiri

Sebenarnya apa sih wajah yang baru saya dapatkan dari kunjungan ke Tulung Agung? Bukankah cerita-cerita di sana sangat mirip cerita-cerita yang bisa saya baca di koran sehari-hari?
Mungkin hal baru adalah merekalah yang berjuang dan bahwa mereka bukanlah hanya sosok korban seperti digambarkan dalam wacana media. Merekalah yang menemukan dan menciptakan peran mereka dalam arti baru. Perlu ruang yang lebih luas di mana kaum buruh migran bisa mengorganisir diri, merumuskan jalan alternatif dan dimana suara mereka didengarkan.

Anggota Divisi Buruh Migran JRK

Samia Dinkelaker


Read More......

MEMBANGUN JARINGAN KERJA ANAK PINGGIRAN

Photo by Flickr.com





PENDAHULUAN

Jaringan kerja sering kali diartikan sebagai sebuah aktivitas berjejaring bagi orang dewasa saja, padahal jaringan kerja hanya lah sebuah wadah bagi banyak orang untuk melakukan sesuatu, yang untuk mereka memiliki manfaat kebersamaan. Jaringan kerja bagi anak pinggiran adalah sebuah wadah, di mana anak-anak pinggiran berkumpul dan mengorganisir diri dan sekaligus sebagai wujud nyata anak-anak pinggiran beraktualisasi di tengah-tengah masyarakat umum (publik). Sebuah kerja berjejaring, yang juga merupakan peluang bagi anak-anak pinggiran belajar berorganisasi dalam konteks pemenuhan hak anak untuk berpartisipasi, karena anak memiliki hak untuk terlibat mengambil keputusan demi kehidupan anak sebagai warga negara.

Jaringan kerja anak pinggiran di Jakarta dan sekitarnya sebenarnya sudah ada sebelumnya dan diinisiasi kembali oleh Ciliwung Merdeka pada tahun 2007 melalui Festival Budaya Anak Pinggiran (FBAP), di mana anak-anak pinggiran berkumpul dan beraktualisasi diri, dan JRK sebagai mitra kerjanya. Setelah itu, aktivitas terhenti hanya sampai di sana saja dan tidak dipagari dengan konsep yang berkelanjutan. Oleh karena itu, JRK berinisiatif pada tahun ini untuk melanjutkannya dan merajut kembali jaringan yang sudah eksis sebelumnya.

TENTANG ANAK PINGGIRAN
Anak Pinggiran adalah anak-anak yang terabaikan haknya dan diabaikan keberadaannya sebagai warga negara oleh pemerintah dan negara, yang seharusnya bertanggung jawab terhadap keberadaan anak demi masa depan bangsa. Mereka adalah semua anak, yang entah oleh kekuasaan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan telah direnggut dan diasingkan hak-hak dasarnya sebagai anak. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang sering disebut sebagai anak jalanan, buruh anak di pabrik-pabrik atau di perkebunan atau pengrajin cilik, pengamen, joki “three-in-one”, penyemir sepatu, pengasong dan pengais sampah berusia antara 5 sampai 18 tahun. Banyak di antara mereka tidak lagi mempunyai tempat tinggal sama sekali dan harus bernaung di bawah langit lepas. Sebagian dari mereka masih tinggal bersama keluarganya dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, seperti tinggal di rumah kardus di antara onggokan sampah, di kolong jembatan, di gerobak dagang, di emperan toko, di rumah-rumah bambu dan bedeng-bedeng di pinggir sungai.

Banyak di antara mereka adalah anak-anak korban gusuran, yang tidak pernah jelas dan tidak pernah pasti kehidupannya, entah karena masalah ketiadaan tempat tinggal, pekerjaan orangtua, pranata sosial yang tercerai-berai dan tercerabut atau karena masalah tempat dan lingkungan pendidikan yang tidak pasti atau bahkan tidak ada sama sekali. Memang sebagian dari mereka masih bisa bersekolah, namun banyak juga di antara mereka yang sudah tidak mampu lagi bersentuhan dengan bangku sekolah, bahkan sejak di usianya yang sangat dini.

Di antara semua kemungkinan itu, yang pasti, sebagian besar dari mereka adalah korban kekerasan, baik kekerasan yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat mereka berada (kekerasan oleh orangtua dalam “domestic violence” atau kekerasan rumahtangga, menjadi korban pelampiasan orang dewasa di jalanan, termasuk kekerasan seksual, perkosaan dan sodomi, hingga menjadi korban human trafficking atau perdagangan manusia, dll.), maupun kekerasan sistematik yang berasal dari negara yang pada umumnya cukup terselubung dalam kebijakan-kebijakan publik pemerintah (pemda) yang jelas-jelas tidak melindungi dan tidak berpihak pada mereka.

UPAYA MEMBANGUN JARINGAN KERJA

Dari awalnya, sejak bulan Desember 2008 lalu, berbagai aktivitas pengupayaan membangun sebuah jaringan kerja bagi anak-anak pinggiran, perlahan dan bertahap sudah berlangsung. JRK sebagai sebuah lembaga, di mana advoaksi anak pinggiran menjadi salah satu program kerjanya, memfasilitasi kami (Tim Kerja Anak Pinggiran) dalam beberapa pertemuan untuk membahas dalam forum terbatas dengan beberapa personil. Tujuannya adalah, agar kita (tim kerja) dapat melihat adanya ragam motivasi dari pertemuan terbatas tersebut, dalam konteks yang lebih luas tentang anak pinggiran.

Fasilitas tersebut berlanjut pada pertemuan-pertemuan rutin internal, yang terus berlangsung dan membuka serta memperkaya kami sebagai sebuah tim kerja untuk melangkah terus secara bertahap. Dalam perjalanan, yang harus diakui menelan banyak waktu dan energi, kami sebagai tim kerja terus melihat adanya ragam kemungkinan dan cara untuk melakukan dan memulai program kerja advokasi anak pinggiran ini dengan segala kerumitannya. Inti dari kerumitan itu pun bukannya harus diartikan sudah selesai sekarang ini melalui orat-oretan ini, tapi justru tetap ada dan harus bisa mendorong kami terus berupaya mereduksi kesalahan dalam melangkah ke depannya. Prinsipnya adalah, bahwa kendala-kendala tersebut menjadi tantangan kami bersama untuk saling bisa memberi masukan dan sekaligus juga terus memperbaikinya. Itu lah sebuah proses mencari solusi bersama sebagai sebuah titik temu atau irisan antar program kerja di JRK sendiri.

Prosesnya dimulai dengan meminta waktu luang dari beberapa lembaga (pemerintah dan non pemerintah) untuk mengajak melihat bersama-sama tentang kondisi anak di Indonesia, yang dari waktu ke waktu semakin terpinggirkan pemenuhan haknya. Beragam cara pendampingan anak pun juga menjadi warna tersendiri dalam kancah aktivitas setiap lembaga dan komunitasnya. Tapi kami sebagai sebuah tim kerja tidak hanya membatasi jaringan kerja ini dengan lembaga-lembaga pendampingan anak saja, justru lembaga atau pun perorangan yang tidak memiliki komunitas dampingan anak kami ikutsertakan dalam pertemuan rutin jaringan, namun mereka memiliki konsep dan juga pengalaman dalam membahas anak pinggiran.

KONDISI UMUM ANAK

Sering dikatakan oleh banyak orang, entah itu penulis, pemerhati anak dan siapapun, bahwa anak selalu menjadi korban orang dewasa. Hal tersebut sangat dapat dirasakan di segala lapisan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut terjadi, karena adanya sebab akibat yang terus menerus melilit berbagai sendi kehidupan kita sebagai warga negara, sehingga berdampak pada ketidakpahamanan orang dewasa tentang anak itu sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya orang dewasa juga tidak terjebak dengan pengkondisian yang demikian, di mana permasalahan anak menjadi masalah orangtuanya masing-masing.

Tulisan ini akan diupayakan bisa menjadi sebuah cerminan dari rangkaian kerja kami dalam Program Kerja Advokasi Anak Pinggiran Jaringan Relawan Kemanusiaan (PKAAP-JRK), yang berprinsip pada ruang anak berkarya. Ruang anak berkarya merupakan sebuah pemenuhan hak anak untuk berpartisipasi, di mana anak dengan jaringan kerjanya membicarakan, memilih dan menyepakati bersama tentang aktivitasnya yang akan mereka organisir bersama. Dan orang dewasa (pendamping dan personallainnya) merupakan fasilitator anak untuk ikut mewujudnyatakan apa yang sedang anak hadapi di tengah proses perjalanan mereka berjejaring. Memfasilitasi, bukan mengintervensi anak. Jaringan anak pinggiran ini bersepakat dalam forumnya untuk mengutarakan langsung kepada jaringan kerja lintas lembaganya (lembaga pendampingan dan perorangan), agar tidak meninggalkannya, tapi justru mereka membutuhkan pendampingan dalam proses mewujudnyatakan jaringan kerja mereka. Berbagai kendala dan tantangannya ke depan akan selalu dan tetap menjadi masalah bersama, yang akan dibicarakan dalam forum kerja antar anak, sehingga mereka akan memutuskan untuk difasilitasi dari para pendampingnya. Demikian juga dengan jaringan kerja lembaga dan pemerhati anak akan terus memonitoring proses yang sedang berlangsung melalui rambu-rambu, yang biasanya timbul untuk ikut membahas permasalahan yang dihadapi anak secara spontan dalam berorganisasi.

Tulisan ini tentunya tidak berhenti sampai di sini saja, tapi justru baru menjadi tulisan awal bagi Tim Kerja Advokasi Anak Pinggiran. Ke depannya, tentu kami akan menuliskan berbagai pengalaman dan temuan yang kami dapati dari proses kerja ini.

Jakarta, 17 Juni 2009

Kadiv.Advokasi Anak Pinggiran JRK
Deny Tjakra Adisurja
Read More......