Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Senin, 30 Maret 2009

Resolusi Konflik : Mengurai Sumbatan Perseteruan, Merajut Damai yang Terkoyak

(Sumber foto: Flickr.com)

Setelah mengenali dan memahami aneka ragam konflik seperti yang diturunkan dalam tulisan akhir Februari lalu, kali ini akan dibahas tentang bagaimana mencari jalan keluar untuk mengatasi suatu konflik yang terjadi, atau resolusi konflik.
Pada tulisan kali ini, saya harus bekerja cukup keras untuk memusatkan perhatian dan membagi waktu karena saya pun sedang mengalami konflik dengan kenyataan – kenyataan pahit yang saya alami akhir – akhir ini.
Dua minggu yang lalu, tiba – tiba saja ayah saya terserang stroke. Seisi rumah tergopoh – gopoh segera membawa ayah saya ke rumah sakit untuk secepat mungkin mendapat pertolongan pertama. Setiap hari, jutaan orang di dunia mengalami serangan stroke, artinya, stroke bukanlah sesuatu yang mengherankan. Tetapi, bagi yang mengalami dan bagi keluarga si penderita, tetap saja mendatangkan kepanikan dan keresahan luar biasa.


Saat di UGD, dilakukan CT Scan untuk mengetahui di bagian mana di otak ayah saya yang bermasalah. Hasilnya menunjukkan ada penyumbatan pembuluh darah di otak sebelah kanan, dan mengakibatkan tangan dan kaki ayah saya yang sebelah kiri menjadi lemah lunglai. Untungnya ( ya, saya masih bisa merasa beruntung), pembuluh darah di otak ayah saya tidak pecah, hanya tersumbat, tetapi, sayangnya, lokasi penyumbatan ternyata berada di tempat yang strategis mengganggu kemampuan dan keseimbangan kinerja syaraf motorik anggota tubuh ayah saya.
Dengan perhatian penuh, saya menyimak penjelasan dokter mengenai apa yang terjadi dengan ayah saya. Cukup lama juga saya termenung memandangi foto hasil CT Scan ayah saya. Saya memikirkan pembuluh darah di otak yang (menurut perkiraan saya) ukurannya tidak lebih besar dari sehelai rambut, tetapi bila tersumbat atau pecah, dalam mendatangkan kelumpuhan pada tubuh, bahkan dapat berakibat lebih fatal seperti kematian. Luar biasa.
Saya kian larut dalam kedalaman pikiran saya, saya mengandaikan sumbatan – sumbatan yang terjadi dalam hubungan antar manusia, sumbatan – sumbatan yang strategis yang berpotensi pecah dan meledak yang dapat melumpuhkan dan meluluh-lantakan semua tatanan kehidupan dan nilai nilai kemanusiaan. Bahkan dapat mematikan hati nurani. Saya tersadar, stroke juga mengancam tatanan kehidupan, nilai kemanusiaan dan hati nurani. Konflik adalah hal yang terus menerus mengotori dan menyumbat kelancaran pembuluh darah hubungan antar manusia. Dan ini harus dicegah, atau dicarikan jalan keluarnya, dengan ini kita mulai bicara mengenai resolusi konflik.






Mengurai Sumbatan Perseteruan, Merajut Damai yang Terkoyak

Empat Tahap Resolusi Konflik (*)


Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik dibuat untuk empat tujuan.
Pertama, konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politik-militer, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial.
Kedua, konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula.
Ketiga, sebab-sebab suatu konflik tidak dapat direduksi ke dalam suatu variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor.
Keempat, resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujudkan perdamaian yang langgeng.

Secara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap.
Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.
Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai.
Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach.
Tahap keempat memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng.

Tahap Pertama : De-eskalasi Konflik


Di tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik.
Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton (1990, 88-90) yang menyatakan bahwa “problem-solving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary”. Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik (Kriesberg: 1991). De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB (Crocker, 1996).
Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas berat yang mendapat perhatian besar dari beberapa agen internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.

Tahap Kedua : Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi Politik

Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik (Anderson, 1996). Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations (Loescher dan Dwoty: 1996; Widjajanto: 2000). Prinsip ini –yang merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90-an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk-bentuk aksi kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi komoditas pokok (commodity-based humanitarianism) dianggap tidak lagi memadai.
Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik.

Tahap Ketiga : Problem-solving Approach

Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996,149).
Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplorasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Bagi Burton (1990, 202), sebab-sebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total environment).

Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving.
Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.
Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik.
Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian.
Komponen keempat adalah problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.

Tahap Keempat : Peace-building

Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben Reily (2000, 135-283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik . Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1) pemilihan bentuk struktur negara; (2) pelimpahan kedaulatan negara; (3) pembentukan sistem trias-politica; (4) pembentukan sistem pemilihan umum; (5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan (5) pembentukan sistem peradilan.

Tahap selanjutnya dari proses peace-building adalah tahap rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut.

Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai. (Miall: 2000, 302-344).
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan.
Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, 384-385) didefinisikan sebagai:
“preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change”.

Kegiatan kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator internasional (Zartman dan Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson: 1997; Lederach: 1997).

Tulisan ini telah berusaha menghadirkan empat tahap resolusi konflik. Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas.

(*) Tulisan ini adalah karya Andi Widjajanto
Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional, FISIP-UI.
Dimuat dalam Tempo Interaktif, Kamis 17 Juni 2004.






Suplemen

Berbagai Teori Tentang Penyebab Konflik (*)

Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik.
• Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.

Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
• Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.

Teori Kebutuhan Manusia
Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial – yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu.
• Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Teori Identitas
Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
• Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.

Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain.
• Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain.
• Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.

Teori Transformasi Konflik
Berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah:
• Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi.
• Meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik.
• Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan , perdamaian, pengampunan , rekonsiliasi dan pengakuan.


(*) Tulisan ini adalah karya Simon Fisher, dkk, Mengelola Konflik :Keterampilan & Strategi Untuk Bertindak, The British Council Indonesia, 2001.

Sekian dari saya, dan saya amat bersyukur dapat menemukan dua tulisan yang sangat penting dan berharga mengenai Resolusi Konflik, yang saya sengaja saya sajikan dalam tulisan di Bulan Maret 2009 ini. Terimakasih untuk para penulisnya yang sudah memberikan pencerahan untuk para pembaca.

Jakarta, 20 Maret 2009,

Arief P. Karnadi
Divisi Resolusi Konflik – JRK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar