Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Selasa, 31 Maret 2009

Tentang Fenomena Golput Dan Suara Korban Pelanggaran HAM

(sumber foto:google.com)

Mendekati pemilu sekarang begitu masif partai dan caleg mengkampanyekan apa yang menjadi bahan untuk mereka meniti kursi kekuasaan
Lintas partai seolah kita dihadapkan pada senyuman, dan hidup yang lebih baik dalam kehidupan bernegara.
Tentu sah-sah saja ketika apa yang dilakukan partai kemudian adalah tidak ada ubahnya dengan usaha marketing sebuah produk tujuan agar konsumen membelinya.


Bagaimana indikasi ini muncul ketika substansi dari partai tentang platform kadang menjadi kabur, atau bahkan mungkin tidak ada, karena yang kemudian muncul adalah, sebuah inovasi janji ditambah layout gambar caleg dari mulai yang norak sampai yang kelihatan aneh, dari yang membawa nama keturunan, sampai yang menggunakan bantuan software manipulasi gambar berpose maksa dengan David Beckham atau Obama.
Sampai berita terakhir ketika KPU menyediakan beberapa kamar-kamar di Rumah sakit Jiwa, untuk mengantisipasi Caleg-caleg yang gagal terpilih.



Adalah sebuah alam realita ketika kita dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan klasik seputar apakah memang dasarnya bodoh masyarakat kita sehingga hanya janji-janji yang terus digulirkan selama masa kampanye dari waktu ke waktu, dan toh mereka juga ikut menikmatinya?
Karena proses pertanyaan tentang poltisi busuk, korup, penjahat Hak Asasi Manusia saat ini sepertinya sudah bukan hal yang aneh dan tidak mempan hanya dengan kita marah.
Yang kadang penyikapan kita menjadi tertawa walaupun getir.
sehingga kemudian dangdut satu paket dengan goyangan artisnya dengan lirik “aku orang termiskin di dunia” menjadi seperti wajib dihadirkan oleh partai dan caleg-calegnya.

Sejenak kemudian kita merenung, dengan fenomena tadi, sebuah inisiasi untuk bagaimana keluar dari proses pembodohan, dan bahkan hak pilih untuk tidak memilihpun harus dihadapkan dengan fatwa Haram ala Majelis Ulama Indonesia. Sungguh binggung kita dibuatnya.

Kalau saja kita menengok tentang apa yang sudah dilakukan korban-korban pelanggaran HAM dari berbagai kasus di negeri ini, dari kasus pembantaian missal 65, Tanjung Priok, Penembakan Misterius, Penembakan Mahasiswa 98, penculikan aktivis, dll

Tentang apa yang mereka lakukan tiap hari kamis sore berdiri diam di depan istana presiden sampai sekarang hingga hitungan ke 100 sekian kali , setara dengan dua tahun lebih, hanya menatap ke tampu kekuasaan yang ada di depan meraka sebuah bangunan putih yang mereka selalu berharap dari situ kasus-kasus mereka ada sedikit kejelasan.

Sampai pada saat mereka berkumpul beberapa minggu lalu di wisma Makara Universitas Indonesia, Depok sekedar bertemu dengan teman senasib se-Indonesia
Prihatin, dalam muara arus untuk ikrar bersama, yang salah satunya tidak memilih politisi, caleg, capres, atau cawapres para pelanggar HAM.

Dari sekian puluh partai yang ada, dari ratusan caleg yang berjanji, dari capres apalagi.
Mereka seperti kehilangan sesuatu untuk mereka yakin memiilih saat ini.
Bukan karena mereka Inkonstitusional, tapi karena keyakinan meraka bahwa mereka tidak menginginkan hal yang sama terjadi lagi dengan Bangsa ini.

Mereka sudah kehilangan anak mereka, mereka sudah kehilangan suami meraka, mereka sudah kehilangan orang tua mereka, mereka sudah kehilangan harapan meraka.
Dan meraka juga tidak menginginkan ini tidak terjadi dengan Rakyat Indonesia lainnya.
Sepertinya mereka juga sudah tidak takut dengan ancaman tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu nanti adalah haram ataupun pengkhianat.

“…terlampau pagi menyebut mereka pemberontak, terlampau dini usia mereka untuk mendobrak. Namun toh justru dalam situasi batas daya kemampuannya, dalam perjuangan mereka yang suntuk, bahkan di ujung ajalnya, mereka merasa perlu menggoreskan pesan, kendati dengan keringat, debu, dan darah…” (Subversi Naratif Kaum Korban Penyintas, I.Sandyawan Sumardi)

Sepertinya ini menjadi penghormatan untuk Parpol, Caleg, Capres, atau Cawapres, bagaiamana agar mereka bisa lebih sedikit berfikir,karena prosesnya kemudian adalah apa yang akan dijawab dari pertanyaan sedih, getir,sakit,dan kecewa meraka, dengan tingkat ketidakpercayaan meraka pada titik klimaks.

Salam…

Husni K Efendi, Staf Humas JRK


Tidak ada komentar:

Posting Komentar