Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Selasa, 24 Maret 2009

Berkenalan dengan Konflik – Langkah Awal Menuju Resolusi Konflik

(sumber foto:flickr.com)
Banyak Jalan Menuju Roma

Ada banyak jalan menuju Roma. Adagium (pepatah) lama yang sudah ribuan bahkan jutaan kali dikutip banyak orang. Secara sederhana, ini menggambarkan harapan dan optimisme manusia untuk mencapai atau mewujudkan sesuatu yang diinginkan, dengan berbagai cara yang mungkin dapat dilakukan. Stop sampai di
sini, jangan melebar dengan pertanyaan apakah ini sama dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu. Itu persoalan lain yang tidak akan dibahas di sini, setidaknya bukan dalam kesempatan ini.


Yang menarik dalam pepatah “banyak jalan menuju Roma” adalah bahwa manusia sebetulnya kaya akan berbagai pemikiran, inovasi, inisiatif serta terutama tindakan yang diposisikan sebagai jalan alternatif, seumpama, jalan yang seharusnya / jalan utama tidak dapat dilalui atau mungkin macet sehingga menghambat atau memustahilkan upaya mencapai sesuatu yang dituju.
Konteks artikel ini adalah resolusi konflik. Dapat dikatakan pula bahwa resolusi konflik itu sebagai suatu tujuan atau sesuatu yang ingin dicapai. Misalkan resolusi konflik kita anggap sebagai Roma, maka kita sedang mencari jalan – jalan alternatif menuju resolusi konflik itu.

“Merasakan” Konflik

Saya akan sangat membatasi artikel ini dalam arti bila saya ini seorang pemandu wisata dalam suatu perjalanan wisata menuju Roma, saya ingin rombongan wisatawan yang saya bawa setidaknya sudah punya pemahaman dan pengetahuan tentang Roma. Saya ingin mereka semua mengenal Roma, bukan semata – mata dari kacamata seorang pemandu wisata. Saya ingin para wisatawan itu “merasakan” Roma sebelum kaki mereka sampai di Roma.
Kita kembali pada konteks pembicaraan tentang resolusi konflik. Ilustrasi di atas memberikan suatu pemahaman bahwa sebelum bicara tentang upaya - upaya resolusi konflik, kita suka atau tidak suka harus mengetahui konflik itu sendiri, beserta hal – hal di sekitar konflik itu. Lebih jauh lagi, mungkin kita sendiri yang harus bertanya pada diri sendiri, apakah diri kita sendiri, dalam sikap, sifat, ucapan, pemikiran dan tindakan sebetulnya “menggendong” bom waktu yang setiap saat dapat meledakan suatu konflik.
Saya sedang mengajak anda mengenal dan melakukan “assessment “, seberapa jauh pengetahuan anda mengenai konflik, seberapa jauh anda menyadari suatu konflik itu sedang terjadi, bahkan, jangan – jangan anda sendiri sedang berada dalam konflik, atau lebih buruk lagi, dapat menjadi pemicu konflik.
Itulah sebabnya saya menggambarkan suatu perjalanan wisata menuju Roma sebelumnya. Saya ingin anda “merasakan Roma” sebelum sampai ke Roma, sebab pikiran dan segala sesuatu yang sedang berlangsung dalam benak anda sebelum anda sampai di Roma dapat memunculkan kekecewaan dan kekacauan bila ternyata Roma tidak seperti yang anda bayangkan begitu anda sampai di Roma, atau sebaliknya, anda dapat merasa begitu kagum sesampainya di Roma, sehingga anda dapat melakukan banyak hal yang menyenangkan di situ.
Sama halnya dengan konflik, seberapa jauh anda mengetahui tentang konflik beserta pernik – perniknya, sebelum berbicara mengenai resolusi konflik.

Berkenalan dengan Konflik

Seharusnya sedari awal saya menjelaskan tentang konflik. Dimulai dengan pertanyaan, apakah konflik itu sebenarnya ?
Konflik adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan akibat terganggunya keseimbangan dalam hubungan antar manusia atau para pihak (baik individu atau kelompok).
(Setidaknya jawaban ini saya rangkum menjadi satu kalimat berdasarkan sekian banyak definisi mengenai terminologi konflik.)

Keadaan yang tidak menyenangkan itu umumnya berbentuk ketidaksepahaman, pertentangan, maupun perseteruan mengenai suatu hal tertentu yang sifatnya membuat para pihak yang terlibat di dalamnya menjadi berseberangan atau menarik garis batas yang membuat pemisahan antara satu dengan yang lain. Sifatnya bisa terbuka atau tidak terbuka (frontal atau tidak frontal).

Terganggunya keseimbangan dalam hubungan antar manusia / para pihak (baik individu maupun kelompok ) umumnya dipicu oleh tindakan suatu individu, pihak atau kelompok yang samasekali tidak bisa diterima atau tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh individu, pihak maupun kelompok lainnya.
Contohnya : pelanggaran hukum, pelanggaran HAM dan kemanusiaan, pelanggaran peraturan / tata tertib, pranata – pranata social dan budaya, etika dan sopan santun, adat, pelanggaran kesepakatan / konsensus dan sebagainya.
Di sisi lain, keseimbangan ternyata juga bisa terganggu karena suatu individu, pihak atau kelompok tidak melakukan tindakan apa pun, padahal tindakan tersebut sangat diharapkan oleh individu, pihak atau kelompok lain. Contohnya : individu, pihak maupun kelompok yang mempunyai kewenangan atau otoritas tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki suatu keadaan.


Faktor Pemicu Konflik Pada Umumnya


Banyak sekali hal yang dapat memicu timbulnya suatu konflik. Tetapi, ada hal-hal yang secara umum sering muncul sebagai pemicu konflik baik secara individu, kelompok / organisasi, bahkan dalam negara sekalipun, termasuk dalam konflik yang bersifat internasional. Hal – hal tersebut adalah sebagai berikut :

Persoalan uang dan sumber daya alam, teknologi serta hal-hal lainnya yang berpotensi dapat menghasilkan uang, atau mendatangkan keuntungan (profit).
Kekurangan maupun kelebihan uang dan sumber daya akan memunculkan berbagai persoalan yang berpotensi memicu konflik. Kurangnya uang dan sumber daya memicu tindakan – tindakan yang sangat mungkin bisa membabi-buta dalam memenuhi kebutuhan – walaupun dengan hati-hati harus diakui pula, tanpa uang dan sumber daya, semua sia-sia. Sebaliknya, kelebihan uang dan sumber daya mungkin dapat menjamin kelangsungan kehidupan, tetapi akan tersandung persoalan baru, yaitu bagaimana menyalurkan dan mengelola uang dan sumber daya yang ada sehingga lagi-lagi dapat menghasilkan keuntungan (uang) yang lebih banyak lagi. Pada dasarnya manusia diberikan kesempatan untuk merasakan kepuasan, tetapi tidak punya keahlian untuk mengendalikan tingkat kepuasannya. Sering dalam upaya – upaya memenuhi kepuasannya ini, manusia seringkali jatuh ke dalam konflik.

Lepasnya kendali ego dan hawa nafsu.
Tanpa ego, manusia tidak sempurna. Begitu pula, manusia tidak dapat dikatakan sebagai manusia seutuhnya bila tidak punya nafsu. Kesadaran bahwa manusia memiliki ego dan nafsu tidak akan banyak manfaatnya tanpa ada kendali dari diri sendiri. Bayangkan anda berada dalam sebuah mobil balap F-1, tapi tidak dilengkapi sebuah setir. Mobil anda bertenaga, sangat laju, tapi tanpa setir, mobil akan menabrak di sana –sini dan mustahil mencapai finish. Kemungkinan besar, anda ikut hancur berkeping-keping besama mobil balap anda karena terlalu banyak membentur dan menabrak di sana – sini.
Adalah suatu anugerah Yang Maha Kuasa bila anda punya kemampuan, kecerdasan dan posisi di atas kebanyakan orang. Tapi sadarilah bahwa anugerah tersebut diberikan untuk membawa / mendukung orang lain menjadi seperti anda, bukan membuat orang lain menjadi semakin kecil dan tidak berarti. Dengan kelebihan yang diberikan pada anda, anda sebetulnya mengemban misi dari Yang Maha Kuasa.

Mengabaikan atau kehilangan kepekaan nurani, rasa keadilan dan kebijaksanaan.
Ini merupakan akibat langsung pula dari suatu ego dan hawa nafsu yang liar tanpa kendali. Kesombongan, terlena oleh kekuasaan, perasaan superior dapat dikatakan merupakan jurang yang dalamnya tanpa batas ( black pit )sedang kita gali sendiri, hingga suatu saat kita menyadari betapa jauhnya jarak kita dengan orang lain. Terlepas apakah kita berada di atas atau di bawah, kita tetap kesulitan menggapai orang lain, karena kita sudah terlalu jauh berdiri sendirian. Konsekuensi dari situasi keterasingan ini mempengaruhi sikap kita dalam membina hubungan dengan orang lain. Kita mulai membandingkan, membedakan, serta memperlakukan perbedaan-perbedaan pada setiap orang yang kita hadapi. Kita menghindari interaksi dan komunikasi dengan orang-orang yang kita anggap “beda” dengan kita, dan sering pula kita akhirnya menciptakan “daftar” siapa yang menyenangkan dan siapa yang tidak menyenangkan.
Dengan demikian, peran – peran orang lain ( yang kebetulan masuk “daftar” orang yang tidak menyenangkan) menjadi tidak jelas dan tidak terasa atau malah dianggap tidak ada samasekali. Semua terasa asing, kita merasa asing dengan orang lain, sebaliknya, kita pun tidak dikenal orang lain.

Mengendus Konflik

Konflik bukan sesuatu yang tidak bisa diendus aromanya. Tidak ada misteri dalam hal ini, tetapi ada aroma yang khas dalam konflik itu, seperti :

Kemarahan, kesalahpahaman, ketidakcocokan, kegelisahan, keputusasaan / frustrasi, sakit hati ( perasaan disakiti) , hinaan, dan sebagainya ; kerugian atau kehilangan ( harta benda, jiwa, hak-hak) – akibat tindakan suatu individu, pihak atau kelompok ; kekecewaan perasaan diabaikan atau tidak dipedulikan – akibat tidak adanya tindakan dari individu, pihak atau kelompok yang berwenang untuk bertindak ; Dead – lock, hilangnya atau putusnya komunikasi antar pihak yang terlibat konflik ; saling menjatuhkan atau saling mendiskreditkan ; berseteru, bahkan perkelahian secara fisik ; polemik dan atau debat yang tidak konstruktif ; intimidasi dan tindakan anarkis atau destruktif ; hilangnya kepercayaan satu dengan yang lain ; pengelompokan atau pengkotakan ; persaingan tidak sehat, saling jegal ; memboikot ; dan lain – lain.

Hal – hal ini tentu tidak serta merta dapat dikatakan sebagai suatu konflik, tetapi, dapat diterjemahkan sebagai situasi dan kondisi yang sangat berpotensi memicu suatu konflik, atau menjadikan suatu konflik berkembang biak.

Para Pemeran dalam Suatu Konflik

Yang dimaksud di sini adalah mengenai pihak – pihak yang terlibat di dalam konflik. Sebab, suatu konflik adalah tetap suatu konflik, yang membedakan hanyalah penyebabnya (obyek) dan siapa yang terlibat (subyek). Berdasarkan pihak – pihak yang terlibat, konflik dapat dibedakan menjadi :

Konflik dalam diri seseorang / berasal dari diri sendiri (personal) ; konflik antara individu dalam suatu kelompok (interpersonal). Misalnya di tempat kerja, atau dalam organisasi ; konflik antar kelompok. Misalnya konflik antar kelompok preman ; konflik antar organisasi. Misalnya pemogokan buruh atau lock-out oleh perusahaan ; konflik antar komunitas, misalnya perang yang bernuansa etnis ; konflik nasional . Misalnya perang saudara (civil war) ; konflik internasional. Misalnya perang antar negara, perang dunia.




Penutup

Sebagaimana saya ungkapkan pada bagian awal penulisan artikel ini, saya membatasi diri untuk hanya membicarakan tentang konflik, sebelum melanjutkan pembahasan mengenai resolusi konflik. Bisa saja kita langsung menuju pembahasan mengenai resolusi konflik, tetapi pertanyaannya apakah kita udah mengenal konflik itu sendiri? Artikel ini anggaplah merupakan suatu perkenalan tentang konflik, termasuk juga upaya kita mengenal dan mengetahui apakah kita sendiri sedang berada dalam suasana konflik, dan , apakah kita sendiri termasuk orang – orang yang secara sadar berpotensi memicu konflik. Resolusi konflik adalah tujuan, tetapi konflik itu sendiri harus dikenal dan dibenahi sebelum melangkah lebih jauh.
Harus saya akui, bahwa kendala terbesar yang saya hadapi adalah ketidakmampuan saya dalam menulis. Tetapi, saya merasa mendapat hikmah, sebab dari ketidakmampuan saya dalam menulis, saya “mengundang” semua pihak yang mempunyai kemampuan menulis dan punya banyak pengetahuan tentang konflik serta resolusi konflik untuk memberikan kontribusi tulisan dan dukungan, sehingga dalam memperjuangkan HAM dan kemanusiaan ini, kita semua dapat dipersatukan oleh cinta kasih dan persaudaraan.
Sekian dan terimakasih, sampai bertemu bulan depan.

Jakarta, 14 Februari 2009
Arief P. Karnadi – Divisi Resolusi Konflik JRK.

Sumber pustaka dan inspirasi :

• Jiddu Krishnamurti, Freedom from The Known, 1969, Harper San Fransisco 1975 reprint, M.Lutyens, editor.
• Anthony de Mello, Awareness, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar