Foto saya
Sekretariat;
Jl. Bonang No.1A,Menteng
Jakarta Pusat 10320
Tlp : 021 31931181 / 021 44553543
Fax : 021 3913473
E-mail: Jrki@cbn.net.id

Senin, 13 Juli 2009

Mengenai pahlawan devisa dan kunjungan ke Tulung Agung

Photo by Flickr.com


Buruh Migran, pekerjaan domestik dan pasar global
Sebelum berangkat ke Tulung Agung di Jawa Timur di mana akan diwujudkan program pengorganisiran dan pendidikan Divisi Buruh Migran JRK, saya sudah belajar tentang realitas Buruh Migran Indonesia (BMI) dan peran mereka dalam pasar global dan kebijakan nasional. Saya mendapat informasi dari teori-teori jurusan kuliah saya, dari wacana koran dan LSM di Jakarta. Beberapa kata kunci yang saya ingat berhubungan dengan BMI adalah mereka sabagai bagian ‘rantai reproduksi global’ atau gambaran mereka sebagai ‘pahlawan devisa’. Saya berasal dari salah satu negara penerima Buruh Migran dan kebanyakan tak terdokumen. Setelah mengunjungi Tulung Agung di Jawa Timu saya sudah mendapat kesempatan untuk mempelajari sisi lain dari pasar global buruh migrant, yaitu daerah asal mereka yang bekerja ke luar negeri di sektor domestik, di sektor jasa, di pabrik dan perkebunan. Tulung Agung merupakan salah satu kantong pengirim buruh migrant yang jumnlahnya BMI paling signifikan. Tak kalah penting, sebagian besar dari mereka adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga.


Di negara saya, yaitu Jerman, banyak keluarga di golongan menengah bisa menganut gaya hidup berbeda karena pekerja perempuan dari luar negeri melakuakan pekerjaan rumah tangga mereka; membesarkan anak-anak dan menurus kaum tua. Dulu kegiatan itu dilakukan oleh rumah tangga. Namun, banyak perempuan kelas menengah serkarang menolak peran mereka sebagai rumah tangga dan menganggap kesempatan memasuki di lapangan kerja formal sebagai hasil perjuangan emansipasi mereka. Selain itu pemintaan pekerja domestik murah dari luar negeri mencerminkan sebuah proses reorganisasi masyarakat neoliberal di mana subsidi negara di sektor social dikurangi dan di mana pekerjaan domestik semakin diorganisasi sesuai dengan sususan pasar. Akibatnya, hari ini baik laki-laki maupun perempuan sudah bebas dari pekerjaan itu dan masuk pasar kerja; makusdnya mereka sudah melakukan pekerjaan yang dianggap sebagai ‘pekerjaan yang benar’ oleh masyarakat.
Dengan asumsi adanya latar belakang pemintaan pekerja domestik di negara-negara penerima BMI seperti konteks Jerman, saya tertarik belajar kenapa Buruh Migran memilih bekerja ke luar negeri. Apa yang mereka alami, apa yang diharapkan oleh keluarga mereka dan bagaimana mereka melawan menghadapi beragam bentuk eksploitasi yang dialami mereka. Baik pada saat mereka berangkat bekerja ke Malaysia, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang dan ke Timur Tengah, pada saat mereka bekerja di sana dan maupun pada saat mereka pulang ke tanah air mereka. Saya tahu tentang susunan eksploitasi yang dihadapi mereka dari cerita media, dari milis dan dari LSM di Jakarta. Dengan mengalami kehidupan sehari-hari di Indonesia cerita-cerita itu mendapatkan “wajah” yang baru. Seringkali saya ditanyakan : “Bolehkah saya ikut ke negaramu dan menjadi pembantumu?” atau “Apa yang harus saya lakukan supaya bisa bekerja ke luar negeri?”. Kunjungan ke Tulung Agung dengan kawan Divisi Advokasi Buruh Migran JRK memperluas pandangan saya tentang kaum buruh migran dalam arti khusus; Dengan kata lain, saya belajar tentang prakarsa dan tentang perjuangan mereka. Sepertinya kemandirian buruh migran bertentanggan dengan cara nasib BMI digambarkan oleh media. Dalam berita kaum BMI biasanya muncul sebagai korban kekerasan belaka dan bukan sebagai subyek politis. Persepsi tentang buruh migran ini tidak hanya dicerminkan dalam wacana media; dalam gerakan advokasi buruh migran pun mereka sendiri juga jarang muncul sebagai aktivis.

Peran-peran jender dan bagaimana mereka bisa diubah
Di Tulung Agung kami sempat berkenalan dengan Siti. Siti memimpin satu kelompok mantan buruh migran. Tiga kali dia sudah berangkat bekerja ke Taiwan sebagai pekerja rumah tangga. Pengalamannya bermacam-macam. Di mata keluarga dan tetangganya di kampung halamannya beberapa pengalam Siti di Taiwan menjadikannya seorang buruh migran yang pantas dibanggakan oleh karena ‚keberhasilannya‘. Waktu pertama kali ke Taiwan dia berhasil mengirim uang kepada keluargannya setelah PJTKI mengklaim sudah mengurus surat-surat resmi, menempatkan tenaga kerja dan menyediakan pelatihan, memotong enam bulan gaji Siti. Kali lain akhir cerita tidak semenyenangkan pengalaman yang pertama. Waktu kedua kali ke Taiwan Siti tidak merasa aman tinggal dengan majikannya yang laki-laki dan memilih kabur tanpa mendapatkan gajinya. Kali lain lagi majikannya meninggal dan Siti terpaksa pulang tanpa menerima gaji karena berdasarkan kontrak kerja dia tidak bisa bekerja untuk majikan lain. Kedua pengalaman itu menjadikan Siti seorang ‚TKI yang kalah‘ karena dia tidak sanggup menemui harapan keluarganya yang menunggu kiriman uang untuk membangun rumah – biar kecil –, membeli motor dan kebutuhan sejenisnya.
Biasanya kalau kita membicarakan masalah buruh migran kita mempertimbangkan keadaan di negara tujuan, kasusu kekekerasan dan penyiksaan atau agensi yang mengirimkan mereka dan raksasa birokrasi yang harus mereka hadapi.
Jangan menyangka bahwa masalah BMI hanya di bidang itu semata, di kampung halaman pun masalah mereka dimulai. Siti membagi pengalaman dengan kami dan ternyata banyak masalah dia dan teman-temannya berakar di kampung sendiri. Sementara istri bekerja keras di luar negeri, suami menikah dengan istri baru. Hal itu bisa menyebabkan istri yang bekerja di luar negeri dipinggirkan oleh masyarakat, perasaan terluka dan penderitaan anak-anak. Kami belajar bahwa tingkat perceraian di Tulung Agung memang mencolok dengan 500 kasus perceraian per bulan.

Apa alasan keberangkatan begitu banyak orang ke luar negeri dan bahkan berulang-ulang walaupun resiko BMI bisa ‚kalah‘ atau resiko mengalami hal yang buruk cukup tinggi? Dalam tahun-tahun terakhir ini lebih dari 4.000 orang terdokumentasi meninggalkan kabupaten Tulung Agung yang berpenduduk satu juta orang. „Kehidupan di sini sangat sulit sedangkan di sana kami mendapatkan gaji penuh. Kebanyakan mantan buruh migran mengeluarkan gaji mereka untuk membangun rumah“ kata Siti. Dia bercerita banyak mantan buruh migran tidak berhenti tergantung pada rantai migrasi. Hidup di luar negeri menawarkan sesuatu yang jarang ada di Tulung Agung dan kalau ada, mungkin di kota besar sifatnya rentan pada eksploitasi: tempat kerja.
Siti dan kawan-kawan mantan buruh migran membangun usaha kecil. Mereka membagi pengalaman mereka dengan perempuan muda lain yang sedang dilatih dalam ketrampilan bahasa Inggris dan pekerjaan domestik oleh PJTKI sementara menunggu saat keberangkatan. PJTKI itu dipilih oleh calon buruh migran untuk mencarikan pekerjaan untuk mereka sementara. Siti dan kawan-kawannya bercerita tentang kehidupan di luar negeri dengan waktu dan ruangnya terbatas untuk berkumpul dengan buruh migran lain dan membagi pengalaman masing-masing. Saat mengurus sampah, misalkan, bisa menjadi kesempatan untuk bertemu dan menukar pengalaman dan pikiran.

Kemudian kami belajar bahwa baik laki-laki maupun perempuan di Tulung Agung sangat hafal peran ‚jender‘ yang dibentuk dalam masyarakat: Mereka sangat tahu siapa yang nongkrong di cafĂ© sambil minum kopi Kediri dan merokok kretek dan siapa yang tinggal di rumah sambil mencuci baju. Justru peran jender yang begitu diketahui oleh kaum BMI, termasuk pembagian pekerjaan berdasarkan jender, dimanfaatkan negara penerima. Siti menguatkan pemahaman bahwa pekerjaan domestik sebenarnya bukanlah pekerjaan. Dan selama tidak dianggap sebagai pekerjaan, pekerjaan domestik tidak akan digaji secara setara dengan ‚pekerjaan yang benar-benar merupakan pekerjaan‘. Padahal pekerjaan domestik justru seberat pekerjaan yang lain. Kami belajar bahwa peran jender dapat juga diisi denga arti baru. Siti dan kawan-kawannya menolak peran ketat itu dengan membangkitkan kebiasaan pembagian pekerjaan rumah tangga yang baru atau dengan memasuki ruang publik dan menuntut dimasukannya kebutuhan buruh migran dalam Perencanaaan Anggaran di tingkat lokal. Sampai sekarang pemerintah lokal tidak mendanai satu program pun yang mendukung buruh migran Tulung Agung. Padahal BMI mengirimkan devisa yang merupakan salah satu sumber pemasukan daerah yang penting. Bahkan devisa yang dikirimkan oleh BMI melampaui nilai penghasilan kebanyakan ekspor dari Tulung Agung.


Alternatif menanghadapi realitas yang buruk
Kota Tulung Agung dikelilingi pedesaan dan kebanyakan keluarga buruh migran yang meninggalkan Tulung Agung adalah petani. Mereka sendiri menghadapi ketergantungan pada pasar, dan hidup dalam kemiskinan. Di desa Winong kami berkenalan dengan sekelompok petani yang mandiri. Kami berkenalan dengan anggota kelompok ‚Sumber Rezeki‘. Mereka membangun koperasi, menata kebutuhan konsumsi mereka sendiri dan menghasilkan jagung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian mereka menunjukkan salah satu jalan alternatif menghadapi budaya konsumtif yang sangat mencolok, entah di Tulung Agung entah di desa lain di Jawa Timur. Sepertinya, tidak ada hubungan langsung antara prakarsa kelompok ‚Sumber Rezeki‘ dan masalah-masalah BMI yang mendesak diselesaikan dan dilansirkan di media. Namun hubungan erat antara contoh pengorganisiran diri dan kemandirian kelompok tersebut dengan kehidupan sehari-hari mantan dan calon buruh migran membuat kita memperhatikan masalah-masalah struktural yang tak kalah penting dicarikan solusi. Maka prakarsa kelompok petani di Winong adalah awal jalan alternatif sehingga keputusan untuk bekerja ke luar negeri tidak begitu tergantung pada penemuhan kebutuhan keluarga diri sendiri

Sebenarnya apa sih wajah yang baru saya dapatkan dari kunjungan ke Tulung Agung? Bukankah cerita-cerita di sana sangat mirip cerita-cerita yang bisa saya baca di koran sehari-hari?
Mungkin hal baru adalah merekalah yang berjuang dan bahwa mereka bukanlah hanya sosok korban seperti digambarkan dalam wacana media. Merekalah yang menemukan dan menciptakan peran mereka dalam arti baru. Perlu ruang yang lebih luas di mana kaum buruh migran bisa mengorganisir diri, merumuskan jalan alternatif dan dimana suara mereka didengarkan.

Anggota Divisi Buruh Migran JRK

Samia Dinkelaker


2 komentar:

  1. Rumpun Tjoet Njak Dien adalah lembaga sosial yang bergerak dalam penguatan, pendampingan dan perlindungan pekerja rumah tangga. Kunjungi blog kami di rumpuntjoetnjakdien.blogspot.com dan website kami di www.rtnd.org. Hidup PRT!

    BalasHapus
  2. Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...






    BalasHapus