Pagi itu, semua hal harus kumulai dengan ketergesaan. Janji bertemu dengan teman di depan Carrefour, Duta Merlin pukul 10 pagi, membuatku harus bergegas tiba tepat waktu. Aku berjalan cepat begitu keluar dari pintu bis TransJakarta. Setengah berlari aku karena sudah 20 menit lewat dari waktu yang disepakati. Tak sempat melihat ke kiri dan kanan, mataku terus menatap langkah. Tiba di pojok jembatan sebelum berbelok menginjakkan anak tangga pertama, aku terkejut melihat sosok anak dan ibu yang nampaknya seperti pengemis baru, tengah asyik bercanda berdua. Momen ini sebenarnya tepat direfleksikan sebagai hari kasih sayang yang jatuh pada hari itu atau bagi masyarakat dunia Barat dikenal sebagai Hari Valentine. Tapi tidak sekedar situasi ini yang menjadi tanda peringatan itu. Ada keadaan yang berbeda dan memberi kesan tersendiri bagi siapa pun yang melintas dan melihatnya.
Anak itu mungkin berusia 8 atau 9 tahun. Duduk di pangkuan sang Ibunda dengan kain gendongan dan sedikit jajanan yang baru sebagian dimakan. Aku terpana melihat wajahnya. Mulutnya rusak, sumbing yang demikian parah, merusak hampir seluruh wajahnya, hingga bola matanya hampir keluar. Pertumbuhan gigi yang tidak sempurna hingga bibirnya pun tak terlihat dan seluruh bagian mulutnya harus terbuka mendorong ruang pernafasannya. Aku terpana tidak hanya karena melihat wajahnya dan tak pernah tahu apakah ia seorang anak perempuan atau laki-laki. Aku terpana karena dalam ketakberdayaannya di sisi Ibundanya, mereka masih bisa saling bercanda, menggelitiki satu sama lain.
Ketergesaan membuatku hanya mampu memberi selembar lima ribuan. Bagiku, itu jumlah yang besar untuk ukuran dompetku. Aku hanya bisa berlalu setelah itu, tapi rasa tergugah dan kesan itu terus lekat dalam ingatanku. Bagaimana aku belajar menghayati dan memahami situasi dan keadaan yang berbeda dari yang biasa dihadapi oleh orang-orang normal dengan perkembangan fisik yang sempurna. Bagaimana aku belajar menghayati dan memahami situasi dan keadaan yang berbeda yang dialami oleh seorang anak kecil di usia mudanya yang harus mengalami hal ini.
Perjalanan pulang membuatku gelisah. Siapa pun yang tergugah nuraninya tentu akan bertanya dalam hati, apa yang mestinya kulakukan. Tidak hanya sekedar membantu atau menghubungkan rasa dan kesan ini pada teman dan relasi, tapi terlebih menumbuhkan, membuka ruang kesempatan dan kondisi yang memungkinkan bagi sang Ibu dan anak untuk mendapatkan secercah kesadaran dan harapan bahwa keterbatasan dapat diatasi bila kita bisa berjuang bersama-sama.
Sore hari, baru berhasil kudapatkan sebuah alamat tujuan dari seorang baik hati yang biasa membantu menyediakan biaya operasi bagi anak-anak yang butuh bantuan dana. Berbekal semangat untuk berbuat, aku terus lanjutkan niatku untuk bertemu pada Senin pagi. Secarik kertas dengan nama dan alamat lengkap kusiapkan dengan semangat pelayanan untuk siap mengantarkannya bila memang dibutuhkan.
Tapi pagi itu, di pojok jembatan itu, hanya berdiri dua tumpuk batu bata yang menandai tempat keberadaan mereka beberapa hari yang lalu. Aku terus berjalan hingga ke ujung jembatan itu. Tak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Kusapa seorang anak muda pedagang kue jajanan yang baru selesai menggelar dagangannya disitu. ’Mas, tahu seorang ibu dan anaknya yang cacat yang hari Sabtu lalu duduk di pojok jembatan disitu?’ Tunjukku. ’Oh, itu mah jarang dateng kesini, Mbak. Padahal banyak orang yang tanya. Biasanya sebulan dua kali kesini’.
Aku hanya bisa mengangguk dan terus mereka-reka ingatanku. Setahun yang lalu, duduk bersama dengan seorang ibu dan anaknya yang cacat hampir serupa dengan yang kujumpai di pojok jembatan Harmoni. Sang Ibu memangku anaknya duduk dalam bis kota dari Pulo Gadung menuju rumahnya. Anaknya teduh dalam gendongannya. Wajah anaknya ditutupi dengan sisa selendang yang terjulur. Kubuka pembicaraan, apakah sudah pernah dibawa berobat ke dokter. Jawaban sedih yang membuatku tak berdaya. ’Uang udah habis untuk berobat di RSCM, Mbak. Saya udah nggak tahu mesti berobat kemana lagi’.
Pada akhirnya, kita akan merasakan demikian pentingnya secarik Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang mesti diurus sendiri di tingkat RT, RW, sampai Kelurahan, untuk pengurusan pasien sakit yang tidak mampu secara finansial. Sayangnya, bagi warga miskin, ini pun masih sulit direalisasikan bila orang tua tidak memiliki KTP, apalagi kartu keluarga. Lalu bagaimana nasib anak-anak yang terpinggirkan, mereka yang miskin, cacat, terpaksa menjadi pengemis. Mereka membutuhkan uluran tangan kita semua. Mereka yang adalah anak-anak, memiliki hak untuk diakui dan hak penuh atas kesehatan dan kesejahteraan. Prinsip Umum Konvensi Hak Anak artikel 24 : Pemerintah seharusnya menjamin agar tidak ada anak yang tidak mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan kiranya tidak hanya menjadi kalimat penyejuk bagi sang Ibu dan anaknya serta mereka yang mengalami situasi yang sama, tetapi sungguh dapat terealisasikan.
’Kemiskinan dan keterbatasan membuat kita seolah kehilangan harapan dan kesempatan. Kita yang berdiri dan berjuang disini, patut membuka batas-batas kemungkinan serta kondisi yang memungkinkan munculnya ketakterbatasan agar menjadi kaya akan kesadaran diri dan kesempatan pada korban. Hendaknya kita pun bisa hadir menjadi jembatan penghubung bagi jalan dari ketakberdayaan menuju kesempatan yang ada di seberang, sekali pun Pemerintah memiliki peran besar dalam mengatasi masalah yang dihadapi bangsanya.
Mari kita mengusahakan bersama.
Jakarta, 26 Februari 2009
Debby, Kadiv Pendataan JRK
Anak itu mungkin berusia 8 atau 9 tahun. Duduk di pangkuan sang Ibunda dengan kain gendongan dan sedikit jajanan yang baru sebagian dimakan. Aku terpana melihat wajahnya. Mulutnya rusak, sumbing yang demikian parah, merusak hampir seluruh wajahnya, hingga bola matanya hampir keluar. Pertumbuhan gigi yang tidak sempurna hingga bibirnya pun tak terlihat dan seluruh bagian mulutnya harus terbuka mendorong ruang pernafasannya. Aku terpana tidak hanya karena melihat wajahnya dan tak pernah tahu apakah ia seorang anak perempuan atau laki-laki. Aku terpana karena dalam ketakberdayaannya di sisi Ibundanya, mereka masih bisa saling bercanda, menggelitiki satu sama lain.
Ketergesaan membuatku hanya mampu memberi selembar lima ribuan. Bagiku, itu jumlah yang besar untuk ukuran dompetku. Aku hanya bisa berlalu setelah itu, tapi rasa tergugah dan kesan itu terus lekat dalam ingatanku. Bagaimana aku belajar menghayati dan memahami situasi dan keadaan yang berbeda dari yang biasa dihadapi oleh orang-orang normal dengan perkembangan fisik yang sempurna. Bagaimana aku belajar menghayati dan memahami situasi dan keadaan yang berbeda yang dialami oleh seorang anak kecil di usia mudanya yang harus mengalami hal ini.
Perjalanan pulang membuatku gelisah. Siapa pun yang tergugah nuraninya tentu akan bertanya dalam hati, apa yang mestinya kulakukan. Tidak hanya sekedar membantu atau menghubungkan rasa dan kesan ini pada teman dan relasi, tapi terlebih menumbuhkan, membuka ruang kesempatan dan kondisi yang memungkinkan bagi sang Ibu dan anak untuk mendapatkan secercah kesadaran dan harapan bahwa keterbatasan dapat diatasi bila kita bisa berjuang bersama-sama.
Sore hari, baru berhasil kudapatkan sebuah alamat tujuan dari seorang baik hati yang biasa membantu menyediakan biaya operasi bagi anak-anak yang butuh bantuan dana. Berbekal semangat untuk berbuat, aku terus lanjutkan niatku untuk bertemu pada Senin pagi. Secarik kertas dengan nama dan alamat lengkap kusiapkan dengan semangat pelayanan untuk siap mengantarkannya bila memang dibutuhkan.
Tapi pagi itu, di pojok jembatan itu, hanya berdiri dua tumpuk batu bata yang menandai tempat keberadaan mereka beberapa hari yang lalu. Aku terus berjalan hingga ke ujung jembatan itu. Tak ada tanda-tanda kehadiran mereka. Kusapa seorang anak muda pedagang kue jajanan yang baru selesai menggelar dagangannya disitu. ’Mas, tahu seorang ibu dan anaknya yang cacat yang hari Sabtu lalu duduk di pojok jembatan disitu?’ Tunjukku. ’Oh, itu mah jarang dateng kesini, Mbak. Padahal banyak orang yang tanya. Biasanya sebulan dua kali kesini’.
Aku hanya bisa mengangguk dan terus mereka-reka ingatanku. Setahun yang lalu, duduk bersama dengan seorang ibu dan anaknya yang cacat hampir serupa dengan yang kujumpai di pojok jembatan Harmoni. Sang Ibu memangku anaknya duduk dalam bis kota dari Pulo Gadung menuju rumahnya. Anaknya teduh dalam gendongannya. Wajah anaknya ditutupi dengan sisa selendang yang terjulur. Kubuka pembicaraan, apakah sudah pernah dibawa berobat ke dokter. Jawaban sedih yang membuatku tak berdaya. ’Uang udah habis untuk berobat di RSCM, Mbak. Saya udah nggak tahu mesti berobat kemana lagi’.
Pada akhirnya, kita akan merasakan demikian pentingnya secarik Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang mesti diurus sendiri di tingkat RT, RW, sampai Kelurahan, untuk pengurusan pasien sakit yang tidak mampu secara finansial. Sayangnya, bagi warga miskin, ini pun masih sulit direalisasikan bila orang tua tidak memiliki KTP, apalagi kartu keluarga. Lalu bagaimana nasib anak-anak yang terpinggirkan, mereka yang miskin, cacat, terpaksa menjadi pengemis. Mereka membutuhkan uluran tangan kita semua. Mereka yang adalah anak-anak, memiliki hak untuk diakui dan hak penuh atas kesehatan dan kesejahteraan. Prinsip Umum Konvensi Hak Anak artikel 24 : Pemerintah seharusnya menjamin agar tidak ada anak yang tidak mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan kiranya tidak hanya menjadi kalimat penyejuk bagi sang Ibu dan anaknya serta mereka yang mengalami situasi yang sama, tetapi sungguh dapat terealisasikan.
’Kemiskinan dan keterbatasan membuat kita seolah kehilangan harapan dan kesempatan. Kita yang berdiri dan berjuang disini, patut membuka batas-batas kemungkinan serta kondisi yang memungkinkan munculnya ketakterbatasan agar menjadi kaya akan kesadaran diri dan kesempatan pada korban. Hendaknya kita pun bisa hadir menjadi jembatan penghubung bagi jalan dari ketakberdayaan menuju kesempatan yang ada di seberang, sekali pun Pemerintah memiliki peran besar dalam mengatasi masalah yang dihadapi bangsanya.
Mari kita mengusahakan bersama.
Jakarta, 26 Februari 2009
Debby, Kadiv Pendataan JRK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar